Makna dan hikmah filsafat islam

BAB I
MAKNA DAN HAKIKAT FILSAFAT ISLAM

A.    Definisi Filsafat Islam
Filsafat Islam terdiri dari dua kata, filsafat dan Islam. Filsafat diartikan sebagai berpikir yang bebas, radikal dan berada dalam datara makna. Sedangkan kata Islam berasal dari akar kata salima artinya menyerah, tunduk dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah. Dan dengan menyerahkan diri kepada Allah. Maka seseorang akan mendapatkan keselamatan dalam hidupnya.
Jadi filsafat Islam, Islamic Philosophy,  pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Filsafat Islam bukan fiklsafat tentang Islam, bukan the philosophy of Islam.  Filsafat Islam artinya berfikir bebas, radikal dan  berada dalam, dataran makna, dan itu dilakukan dalam otak yang ada di kepala, dan kepala adalah salah satu organ dalam tubuh manusia, sedangka tubuh manusia adalah bagian dan diri, keakuan atau nafs manusia.

B.     Berbagai Pendekatan Filsafat Islam
1.      Pendekatan Historik
Secara historic, Islam lahir dimulai dari risalah kenabian Kanjeng Nabi Muhammad saw, di Makkah, pada 571 M., dan merupakan produk dari dialektika sejarah kemanusiaan yang berada dalam krisis, untuk memberikan jalan kepada manusia merancang hari depan kehidupannya yang lebih manusiawi.
2.      Pendekatan Doktrinal
Nabi Muhammad saw, adalah seorang Rasul yang dipilih untuk menerima kitab suci. Apa yang disampaikan oleh Rasul adalah semata-mata wahyu. Sedangkan dari sisi hikmah, ia adalah seorang filosof yang dapat menjelaskan secara akurat dan menyeluruh tentang wahyu yang diterimanya, dengan pemahaman mendalam yang dimilikinya.
3.      Pendekatan Metodik
Metode filsafat Islam dibangun berdasarkan sunnah Rasul dalam berpikir, artinya apa yang ditempuh dalam proses berpikirnya memahami, memikirkan dan mencari akar masalah serta solusinya. Sunnah Rasul dalam berfikir itu tidak lain adalah metode rasional transendental, yaitu menganalisis fakta-fakta empiric dan mengangkatnya pada kesadaran spiritual, kemudian membangun visi transenden dalam memecahkan suatu persoalan. Sunnah berfikir itu dibakukan dalam kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (filsafat).
4.      Pendekatan Organik
Metode rasional transcendental itu secara organik digerakkan oleh pikiran yang bekerja di otak, yang berada di kepala dan qalb yang bekerja di hati yang halus, yang ada di rongga dada.
5.      Pendekatan Teleologik
Secara teologik, filsafat Islam mempunyai tujuan dan karenanya tidaklah netral, ia menyatakan keberpihakannya pada keselamatan dan kedamaian hidup manusia.

C.    Hakikat Filsafat Islam
Filsafat Islam pada hakikatnya adalah Filsafat Kenabian Muhammad. Filsafat Kenabian ini lahir dalam periode filsafat Islam, dan karenanya tidak ditemukan dalam filsafat Yunani.

D.    Obyek Kajian Filsafat Islam
Filsafat Islam membahas hakikat semua yang ada, sejak dari tahapan ontologism, hingga menjangkau dataran yang metafisis. Filsafat Islam juga membahas mengenai nilai-nilai, yang meliputi dataran epistemologis, estetika dan etika. Di samping itu, Filsafat Islam membahas pula tema-tema fundamental dalam kehidupan manusia, yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan, yang disesuaikan dengan kecenderungan perubahan dan semangat jaman.

E.     Hubungan Filsafat Islam dengan Keilmuan Islam Lainnya
Dalam kajian keilmuan Islam, posisi filsafat Islam adalah landasan adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan yang beragam, karena dalam bangunan epistemologi Islam , filsafat Islam dengan dengan metode transendentalnya dapat menjadi dasarnya. Sebagai contoh, fikih pada hakikatnya adalah pemahaman, yang dasarnya adalah filsafat, yang kemudian juga dikembangkan dalam apa yang disebut ushul fiqh. Tanpa filsafat, fikih akan kehilangan semangat untuk perubahan, dan fikih dapat menjadi beku, bahkan membelenggu ijtihad.

F.     Kiblat Berfikir Umat Islam
Dalam diri Rasulullah Muhammad saw, terdapat suri tauladan yang baik, yang sepatutnya ditiru dan menjadi rujukan umat Islam, baik dalam berpikir, berperilaku maupun berbuat. Dilihat dari konteks ini, maka pedoman berpikir umat Islam pada dasarnya juga sebaiknya meniru dan mengacu pada sunnah Rasulullah dalam berpikir , dan bukankah Nabi Muhammad saw juga seorang filosof, dan bahkan teladan berfikir inilah yang menentukan kualitas derajat kemanusiaan, sehingga derajatnya lebih tinggi daropada makhluk lainnya, bahkan malaikat sekalipun.

















BAB II
ONTOLOGI ISLAM
A.    Yang Ada (being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu diciptakan atau ada dengan  sendirinya ? Pada prinsipnya, segala sesuatu itu ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan. Ada yang mengadakan dan ada yang diadakan.

B.     Yang Nyata ( realitas )
Berbeda dengan yang ada , maka yang nyata, kenyataan, pada dasarnya merupakan bagian dari yang ada itu sendiri, yaitu ADA yang factual, yang berupa fakta-fakta dalam kehidupan, sifatnya dinamik, dan dinamikanya dipengaruhi oleh proses dialektika kehidupan manusia yang kompleks, yang terjadi danberlangsung dalam berbagai aspek kehidupannya, social, politik, ekonomi, budaya dan agama.
Filsafat Islam memandang realitas pada hakikatnya adalah spiritual. Hakikat spiritual pada realitas terdapat pada adanya dinamika dan perubaghan, yang secara kodrati selalu terjadi dan akan terus terjadi, dan merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah.

C.    Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada , baik yang nyata maupun yang tidak nyata, selalu ada dua sisi di dalamnya , yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi ada yang ghaib, yang tampak adalah sisi eksistensinya, sedangkan bagi ada yang konkrit, yang tampak bisa kedua-duanya, yakni sisi esensi dan eksistensi.

D.    Hakikat Kemajemukan (Pluralitas)
Dilihat pada esensi atau sumbernya, hakikat pluralitas itu tunggal, dan yang tunggal itu bereksistensi terus tanpa henti dalam melahirkan pluralitas.
]pn,mnbcxDalam konsep filsafat Islam, konflik dan ketegangan pluralitas pada hakikatnya sesuatu yang alamiah dan wajar, dan setiap konlik harus disikapi dengan bijak, sehingga dapat melahirkan bentuk-bentuk sintetik yang baru, sebagaimana yang terjadi dalam mekanisme alam, di mana konflik menjadi basis pertumbuhan untuk memunculkan bentuk-bentuk kehidupan yang baru, yang lebih baik.

E.     Hakikat Perubahan
Jika seandainya ada yang abadi dalam kehidupan di dunia ini, maka yang abadi itu adalah perubahan. Perubahan semu terjadi pada semua realitas kehidupan, ada yang bisa diamati dan dilihat secara jelas oleh mata telanjang, tetapi banyak pula yang tidak kelihatan, dan seakan-akan muncul sesuatu yang baru, meskipun yang baru itu lahir dari proses  panjang masa lalu yang sama sekali tidak baru, baik dalam pengertian waktu maupun substansi.





















BAB III
EPISTEMOLOGI ISLAM
     Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.

A.    Obyek Kajian Ilmu
Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri., baik yang ditulis dalam kitab suci maupun ayat-ayat kauniyah, yaitu gumelarnya jagat semesta ini.

B.     Cara Memperoleh Ilmu
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi atau khushulli  dan jalan ladunni atau khudhuri.  Jalan kasbi atau khushulli  adalah cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan. Sedangkan ilmu ladunni atau khudhuri , diperoleh orang-orang tertentu , dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahannya oleh hadirnya cahay ilahi dalam qalb.

C.    Kebenaran Ilmu
Kebenaran dalam wacana ilmu adalah ketepatan m,etode dan kesesuaiannya antara pemikiran dengan hukum-hukum internal dari obyek kajiannya. Dalam konsep filsafat Islam, kebenaran sesungguhnya datang dari Tuhan, melalui hukum-hukum yang sudah ada  dan ditetapkan pada setiap penciptaan-Nya, dalam dalam alam semesta, manusia dan al-Qur’an.

D.                Tujuan Ilmu
Secara ontologis, ilmu pada dasarnya adala manusia, ia lahir dari manusia dan untuk manusia, ilmu merupakan proses manusia menjawab ketidak tahuannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Dalam konsep filsafat Islam, ilmu pada hakikatnya merupakan perpanjangan dan pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat Allah merupakan eksistensi kebesarannya dan manusia diwajibkan untuk berpikir tentang ayat-ayat Allah

E.     Ilmu dan Etika
Dalam pandangan filsafat Islam, kebenaran dan ilmu tidak boleh berada di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akan melahirkan kerusakan. Denagn demikian etika ilmu adalah keberpihakan pada kebenaran, pembebasan manusia dan kemandiriannya artinya tidak terkooptasi oleh sistem yang menindas.





















BAB IV
ETIKA ISLAM
A.    Hakikat Baik dan Jahat
Dalam konsep filsafat Islam, yang baik itu disebut alma’ruf artinya semua orang tahu dan menerimanya sebagai kebaikan, sedangkan yang buruk itu disebut sebagai al-munkar.  Al-ma’ruf maupun almunkar bersifat universal, dan kita diperintahkan untuk melakukan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar.

B.     Etika Sosial
Etika sosial artinya suatu pemikiran yang secara moral mengesahkan tekanan dalam masyarakat terhadap individu. Etika social diperlukan agar dalam masyarakat yang sarat pluralitas, mempunyai mekanisme penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi, berdasarkan nilai-nilai etika yang menjadi bagian fundamental dari tata kehidupan sosialnya. Etika social itu dibangun dari akar agama dan kebudayaan yang menjadi bagian fundamental kehidupan masyarakat turun-temurun dan selalu diaktualisasikan secara kreatif dan kontekstual sesuai dengan perubahan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
1.  Persamaan dan Kebersamaan
Prinsip persamaan dan kebersaman artinya semua kelompok social pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama, tanpa hrus menghilangkan adanya stratifikasi social yang telah menjadi realitas social, dan msing-masing kelompok social mempunyai hak dan kewajiban yng sama.
2. Keadilan Sosial
Dalam konsep filsafat Islam, keadilan bagian dari taqwa dan kemuliaan man usia ditentukan oleh taqwanya, yang berarti ditentukan juga oleh tingkat keadilannya
3. Keterbukaan dan Musyawarah
Bermusyawarah adalah etika social yang fundamental, karena  kodrat kehidupan masyarakat adalah perbedaan dn pertentangan pendapat. QS (51:8) mengatkan,” Sesungguhnya engkau semua adalah bermacam-macam pendapat.”
C.    Etika Ekonomi
Ekonomi adalah kegiatan yang langsung berkitan dengan usaha memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, yang berkitan dengn kebeutuhan pokok sehari-hari, sehingga sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan pola perilaku masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Krisis ekonomi akan berdampak  pada munculnya krisis di bidang politik, social, hukum,budaya, dan agama, bahkan krisi ekonomi bisa menjadi ancaman yang serius dalam keimanan, sebagaimana yng disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad saw :” kada al faqru an yakuuna kufran,” artinya bahwa kemiskinan akan membawa kepada kekufuran.

D.    Etika Politik
     Dalam konsep filsafat Islam, bentuk Negara dan pemerintahan tidk mutlak, yang mutlak adalah moralitas kemanusiaan atau akhlaqul kariimah yang harus menjadi basis penyelenggaraan kekuasaan Negara, d imana musyawarah, keadilan, persamaan dan kebebasan berfikir dapat hidup dan berkembang di masyarakat

E.     Etika Kebudayaan
Kebudayaan dalam konteks etika adalah kebudayaan dalam artinya sebagai kata kerja atau kebudayaan sebagai proses, bukan sebagai kata benda atau produk, karena kebudayaan sebagai kata benda atau produk dapat dimengerti sebagai sesuatu yang bebas nilai, meskipun kehadirannya seringkali memaksa seseorang untuk menyesuaikan diri dengannya.
Dalam konsep filsafat Islam, sesungguhnya proses kebudayaan sesungguhnya sejak awaltidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai etika. Karena kebudayaan adalah eksistensi  hidup manusia sendiri yang terbingkai dalam nilai-nilai etika.



F.     Etika Agama
Agama adalah nilai-nilai etika yang tidak pernah kering, karena agama melihat hakikat manusia pada perbuatan baiknya. Dalam konsep filsafat Islam, ada empat hal pokok yang dibicarakan agama. Yaitu Tuhan, manusia, alam, dan kebudayaan.
1.      Etika Hubungan Manusia dengan Tuhan
Dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan, maka manusia adalah makhluk yang lemah yang harus tunduk dan patuh kepada Tuhan. Melawan Tuhan dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-Nya, hanya nakan melahirkan kesia-siaan belaka dan justru hanya akan menimbulkan kerugian bagi manusia itun sendiri. Maka di sini manusia sebagai makhluk harus taslim, patuh kepada Tuhan dengan menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
2.      Etika Hubungan Manusia dengan Sesamanya
Semua makhluk dalam pandangan Allah adalah sama, yang membedakan hnyalah ketaaqwaan-Nya. Dalam hubungan dengan sesama manusia, maka setiap manusia harus saling mengharagai satu sama lain, tidak boleh memaksakan kehendak, termasuk dalam hal beragama. Laa ikroha fiddiin, tidak ada paksan dalam hal beragama.
3.      Etika Hubungan Manusia dengan Alam
Manusia tidak bisa dipisahkan dengan alam, akrena manusia adalah bagian dari alam itu sendiri. Oleh karena nya manusia dilarang membuat kerusakan alam. Membuat kerusakan alam, maka akan menimbulka bencana bagi manusia itu sendiri.
4.      Etika Hubungan Manusia dengan Ciptaannya
Berhadapan dengan ciptaannya atau kebudayaan, manusia pada dasarnya memegang otoritas dan kekuasaan yang penuh, artinya manusia sepenuhnya bertanggung jawab untuk apa semua ciptaannya itu akan diperbuat, dan semua ciptaannya itu bergantung pada manusia.
Dalam konsep filsafat Islam, tidak patut manusia mempertuhankan buatannya sendiri. Kebudayaan adalah buatann manusia maka manusia harus meletakkannya sebagai alat belaka, jangan sampai diperbudak oleh apa yang dibuatnya sendiri.





























BAB V
ESTETIKA ISLAM
Estetika adalah cabang filsafat yang berusaha menmcari nilai indah atau nilai buruk pada sesuatu.  Dalam pengalaman hidup, sesuatu yang indah akan membuat hati menjadi nyaman dan tenteram, sebalknya sesuatu yang buruk akan membuat hati merasa tidak nyaman. Estetika adalah cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat tentang nilai- nilai indah dan nilai-nilai buruk terhadap sesuatu. Kehadiran sesuatu yang indah dala hidup seseorang, menjadikan perjalanan hidupnya penuh warna, harmonis, ada rasa nikmat yang memuaskan hatinya, ada suatu makna hidup dan perasaan haru yang mendalam, yang seringkali muncul sehingga kehidupannya tetap bertahan secara kreatif, tanpa di hancurkan oleh rasa frustasi. Sebalikya kehadiran sesuatu yang buruk dalam diri seseorang, membuat perjalanan hidupnya menjadi kusut, ada kekecewaan yang mendalam sehingga seringkali membuatnya frustasi, semangat hidupnya turun dan cenderung kearah terjadinya gangguan atas keseimbangan hidupnya
A.    Keindahan sebagai Pengalaman Batin.
Pengalaman estetik itu berpusat di dalam perasaan halus seseorang dan sifatnya menggetarkan, dan proses getaran itusesungguhnya terjadi secara langsung ketikia seseorang mengamati atau mendengar suatu obyek yang bernilai estetik. Dalam pengalaman estetik seorang muslim, auat-ayat suci Al-Qur’an yang dibaca dengan alunan suara yang syahdu dapat menggetarkan jiwa pendengarnya, dan hal itu akan bisa menambah keimanan seorang muslim pendengarnya.
Dalam konsep filsafat Islam, pengalaman estetik yang berdimensi spiritual pada dasarnya merupakan basis pemikiran imajinatif, di mana seseorang menyatu dalam nuansa kejiwaan memasuki kesadaran Ilahiyah. Seperti gambaran tentang surge dengan segala ilustrasi simboliknya, sesungguhnya dapat dimengerti dan diserap melalui pemikiran imajinatif spiritual ini.
B.     Keindahan Natural dan Keindahan Artifisial
Keindahan alam pada hakikatnya merupakan cerminan dari cahaya keindahan  Ilahi, Dalam sebuah hadits dikatakan bahawa Tuhan itu indah dan menyukai keindahan. Sedangkan keindahan artificial hanya dapat dimengerti oleh seseorang melalui proses keterlibatan perasaan dan penalarannya terhadap proses dan hasil karya seni itu, antara lain yang bertalian dengan semangat hidup serta situasi seorang seniman yang kemudian diungkapkannya dalam karya seni dari seniman itu sendiri.
C.    Keindahan dan Pembebasan
Pengalam estetik pada tahap yang spiritual, pada hakikatnya merupakan proses pembebasan dan peneguhan kemanusiaan. Pembebasan dari tekanan dorongan-dorongan dan darah tubuhnya, yang cenderung mengabdi  kepada kepuasan-kepuasan fisik semata. Pembebasan demikian dapat terjadi, karena pada pengalaman estetik yang spiritual itu, seseorang berhadapan dengan pengalaman estetik yang menggetarkan daya-daya rohaninya, sehingga ia larut dalam keharuan, memandang kecil dirinya dengan merelatifkan dirinya, rendah hati dan tidak congkak.
D.    Seni dan Agama
Hubungan seni dan agama menjadi unsur begitu penting, karena spiritualisasi seni menampilkan realitas kebenaran spiritual yang turun ke bumi. Dalam hal ini seni merupakan ruh dan bentuk ajaran islam yang terselubungi oleh kesempurnaan dari dunia keabadian
Dalam konsep filsafat islam, hakikat pengalaman estetik (seni) dan pengalaman keagamaan pada dimensi spiritualnya sesungguhnya bersifat tunggal, dan tidak berlawanan, bahkan saling memperkaya kehidupan rohani seseorang. Oleh karena itu, pada hakikatnya seni dan agama tidak bertentangan satu sama lain, bahkan agama tanpa seni menjadi kering dan seni dengan agama menjadi segar. Keduanya sama-sama mampu mentransendir cahaya keindahan Illahi dan tanda-tanda kebesaranNya yang terpantul pada ciptaanNya di langit dan di bumi, yang menjadi objek pemikiran dan perenungannya sehingga membentuk kesadaran transenden bahwa sesungguhnya semua itu tidak sia-sia.
Di dalam islam seni tidak dapat memainkan suatu fungsi spiritual, apabila ia tidak dihubungkan dengan bentuk kandungan wahyu. Karen adalam hal ini hubungan kausal antara wahyu islam dengan seni islam dibuktikan oleh hubungan antara seni dengan ibadah.
BAB VI
TEOLOGI ISLAM
A.    Tuhan dalam Konsepsi
Secara keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi objek kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur, terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada lapangan atau laboratorium percobaan ilmu.
Dalam filsafat Islam yang menjadi persoalan ialah apakah konsep-konsep mengenai Tuhan seperti yang dikenal dalam perkembangan pemikiran manusia itu adalah Tuhan dalam pengertian yang sesungguhnya, atau yang dipertuhankan saja, artinya bukan Tuhan atau Tuhan hanya dalam konsepsi manusia saja, yang bisa saja salah, hanya dugaan dan bisa jadi memang bukan Tuhan.
B.     Tuhan dalam Persepsi
Agama sesunguhnya membentuk persepsi tentang Tuhan, dan bukan konsepsi tentang Tuhan, dan persepsi tentang Tuhan itu diperoleh melalui praktek menjalankan peribadatan kepada Tuhan.
Persepsi tentang Tuhan yang dikemas dan diajarkan dalam agama, memang dibangun atas dasar wahyu Tuhan sendiri yang juga dipraktekkan dalam pengalaman berhubungan dengan Tuhan dalam sebuah wadah yang disebut dengan ibadah.
C.    Pengalaman Spiritual dalam Iman
Agama pada dasarnya adalah iman, tidak ada agama tanpa iman, dan iman dalam pengertian agama bukan sekedar percaya akan adnya Tuhan, tetapi dibuktikan dengan praktek peribadatan kepada-Nya sebagai manifestasi dari iman itu sendiri. Dengan mempraktekkan ibadah secara benar sebagai perwujudan dari iman iru, maka akan diperoleh pengalaman spiritual yang disebut dengan ladzatul iman, lezatnya iman sebagai buah dari amaliyah nyata.
D.    Tuhan sebagai Nafs (Ego) Mutlak
Konsep nafs dalam filsafat Islam, pada dasarnya lebih diartikan sebagai diri, keakuan atau ego, bukan jiwa. Oleh karena itu, nafs  dalam pengertian ego sesungguhnya bersifat spiritual, dan spiritualnya terletak pada kesatuan unsure-unsur yang ada di dalam dirinya yang berbentuk kesatuan dinamik yang aktif dan actual dalam perbuatan konkrit.
E.     Hidup dalam Tuhan
Dalam konsep filsafat Islam, tidak ada hidup dan kehidupan di luar Tuhan, tidak ada ruang dan waktu di luar Tuhan, hidup dan kehidupan hanya ada dalam Tuhan. Oleh karena itu kemana saja menghadap di situ adalah Wajah Tuhan.
F.     Sistem Teologi Tauhid
Tauhid dalam konsep filsafat Islam adalah suatu system pandangan hidup yang menegaskan adanya proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan, dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan, semua berasal dari Tuhan semata, dan kepada-Nya jua kembalinya segala sesutau.
Teologi Islam dalam system ketuhanan tauhid adalah pernyataan iman seseorang kepada Dzat Yang Maha Tunggal, yang dinyatakan melalui lisan, dimantabkan dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Jadi, teologi islam, adalah suatu system teologi yang integrative, actual, dan transformative.
















BAB VII
KOSMOLOGI ISLAM
A.    Hakikat Alam Semesta
Dalam konsep filsafat Islam, alam semesta adalah wujud atau eksistensi Tuhan dalam kehidupan ini, dan mencerminkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, atau ayat-ayat-Nya. Alam semesta sebagai eksistensi Tuhan tidak diciptakan. Yang diciptakan adalah gunung, laut, bumi, serta manusia.
B.     Tentang Penciptaan Alam
Dalam konsep filsafat Islam, sesunguhnya dalam kehidupan ini hanya ada dua pencipta, sebagai aktualisasi nafs keakuan, yaitu Pencipta Mutlak, Pencipta Pertama yang tak terbatas dan penciptsa relative, atau pencipta kedua yang terbatas.
C.    Mekanisme Alam
Mekanisme alam adalah suatu system hukum-hukum yang mengatur kehidupan yang ada dalam alam 3 dan 4 yang sudah ditetapkan Tuhan sejak awal penciptaannya dan dapat bekerja secara otomatis untuk melakukan control kehidupannya dalam batas-batas yang sudah ditentukan-Nya, baik batas waktu, batas ruang, batas fungsi dan batas cara kembalinya kepada Tuhan.
D.    Tentang Ruang
Ruang dibedakan menjadi ruang yang terbatas dan ruang yang tidak terbatas. Ruang yang tidak terbatas adalah ruang Ilahiah itu sendiri, di mana segala yang ada atau yang diciptakan ada di dalamnya, baik itu alam dhahir maupun alam ghaib.
E.     Tentang Waktu
Dalam konsep waktu, sesungguhnya ada waktu yang terbatas dan ada waktu yang tak terbatas. Adanya waktu yang terbatas mengharuskan adanya waktu yang tak terbatas, sebagai pedoman waktu-waktu yang terbatas itu.
F.     Tentang Gerak
Dalam konsep Islam, pada hakikatnya gerak hidup adalah menghidupkan, gerakan yang tidak menghidupkan bertentangan dengan hakikat kehidupan itu sendiri. Bumi yang hidup adalah bumi yang menghidupkan tetumbuhan, yang menjadi dasar bagi kelangsungan kehidupan yang lainnya, binatang juga manusia.





























BAB VIII
ANTROPOLOGI ISLAM
            Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.

A.    Metode Memahami Hakikat Manusia
Ada beberapa cara atau metode untuk memahami hakikat manusia, yaitu :
1.      Pendekatan bahasa
Yaitru, bagaimana bahasa itu dipakai untuk menyebut manusia, apa arti kata manusia, yang secara semantic dapat diusut maknanya, terutama dari akar kata yang dipakai pada penyebutan kata manusia tersebut.
2.      Melalui cara keberadaannya
Pendekatan melalui cara keberadaannya sekaligus membedakan secara nyata dengan cara keberadaan dengan makhluk lain, sehingga dapat diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dibanding makhluk lainnya.
3.      Melalui karya yang dihasilkannya
Dari karya yang dihasilkan dapat diketahui sejauh mana kualitas manusia tersebut. Semakin bagus sebuah karya, maka dapat diketahui sejauh mana kualitas pembuat karya tersebut.
4.      Melalui metode Qur’anik atau pendekatan teologis, dalam filsafat Islam
Pensdekatan Quranik adalah melengkapi sisi transcendental yang tidak didapatkan pada ketiga pendekatan di atas, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebihfundamental.
B.     Penciptaan Manusia
 Al-Qur’an telah menegaskan bahwa manusia diciptakan secara khusus. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS Shaad: 71-72)
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani…” (QS Faathir: 11)
Kemudian, dalam ayat Al-Qur’an, kita mendapatkan bahwa Allah Swt menegaskan penciptaan manusia ini dengan menggunakan kata ‘Qad’ yang sebelumnya didahului dengan ‘lam’ yang memiliki fungsi penegasan (lâm ta’kîd). Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS Qaaf: 16)
Demikianlah, Al-Qur’an menegaskan kekhususan penciptaan manusia. Namun orang-orang sesat yang tidak mau mengakui kebenaran Al-Qur’an menuduh Al-Qur’an bohong, karena menurut mereka, manusia tercipta sebagai hasil dari evolusi makhluk lainnya. Makhluk yang mendahului wujud asli manusia ini, mereka sebut sebagai ‘bapak’ bagi setiap binatang menyusui.
Akan tetapi kebohongan mereka, akhirnya terbongkar juga. Pada 1986, ketika para ahli arkeologi menemukan sebuah fosil kera di Afrika, mereka menyimpulkan secara tegas tanpa ada keraguan, bahwa antara kera dan manusia tidak ada hubungan sama sekali dalam asal penciptaannya. Lihatlah bagaimana kebenaran senantiasa unggul di atas kebatilan?
Al-Quran sendiri, ketika menceritakan tentang penciptaan manusia, petunjuk yang terkandung didalamnya mengandung kebenaran yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kita perhatikan apa yang dikatakan al-Quran tentang penciptaan manusia ini. Allah Swt berfirman: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air.” (QS Al-Furqan: 54)
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani.” (QS Faathir: 11)
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu pada kali yang lainnya.” (QS Thaaha: 55)
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” (QS Al-Mursalat: 20)
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).” (QS Ath-Thaariq: 5-8)
Dan banyak ayat lainnya yang seluruhnya menunjukkan bukti ilmiah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya, dalam firman-Nya “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air”, Allah Swt menegaskan bahwa asal penciptaan manusia adalah air. Ayat ini sesuai dengan bukti ilmiah yang mengatakan bahwa kira-kira 75 persen dari berat manusia adalah air.
Karenanya air sebagai asal segala sesuatu yang diciptakan, merupakan unsur terpenting bagi setiap proses kehidupan. Dalam tubuh manusia, air berfungsi untuk melunakkah bahan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya hingga mudah untuk dicerna.
Mengamati pembahasan Al-Qur’an tentang penciptaan manusia, kita mendapatkan sebagian orang yang senantiasa meragukan kebenaran Al-Qur’an, menentang apa yang telah disampaikan Al-Qur’an tentang penciptaan manusia ini. Yaitu ketika mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak konsisten dalam menyebutkan asal penciptaan manusia. Menurut mereka, dalam salah satu ayat dikatakan: “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu”. Sedangkan dalam ayat lain disebutkan: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air”.
Dan dalam ayat lain dinyatakan: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Dan dalam ayat lain: “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani”. Bagaimana penafsiran atas beberapa ayat yang saling bertentangan ini?
Demikianlah mereka meragukan kebenaran Al-Qur’an. Sebelum kami mematahkan argumen mereka, perlu kami ingatkan hal penting berikut ini: Siapa pun yang ingin mendapatkan hakikat kebenaran yang menyangkut suatu hal tertentu, maka pertama kali ia harus melepaskan diri dari penilaian subyektifnya. Karena bagaimana ia akan berdialog secara jujur dan obyektif dengan orang lain tentang sesuatu hal yang ia sukai? Jika ia tidak mau melepaskan subyektifitasnya? Tentunya ia akan cenderung membenarkan apa yang disukainya. Kemudian bagaimana ia akan berdialog secara jujur dan obyektif tentang suatu hal yang ia benci? Jika ia tidak mau melepaskan subyektifitasnya? Tentunya ia akan cenderung untuk menyalahkan apa yang dibencinya.
Dan pada realitanya, memerhatikan orang-orang yang memusuhi Islam dan menentang isi Al-Qur’an, kita hanya mendapatkan sedikit dari mereka yang mau melepaskan subyektifitas mereka. Sebaliknya, kita menemukan hati mereka telah dikuasai oleh kedengkian dan kebencian kepada Islam.
Kedengkian yang menutupi mata hati mereka, sehingga mereka tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati yang mereka idam-idamkan. Namun meski demikian, kami telah siap untuk mendiskusikan hal ini dengan mereka secara ilmiah dan obyektif.
Memerhatikan Al-Qur’an melalui ayat-ayatnya yang membicarakan tentang penciptaan manusia, kita akan mendapatkan bahwa ia senantiasa menggunakan kata ‘min’ yang memiliki arti ‘dari sebagian’ (juz-iyyah). Ketika Allah Swt berfirman: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air”, maka kalimat ‘dari air’ berarti sebagian unsur-unsur yang membentuk manusia, diambil dari air. Mengenai berapa persen kadar air dalam penciptaan manusia, maka hakikatnya, hanya Allah Swt yang mengetahuinya. Karena ‘penciptaan’ (al-khalqu) merupakan sifat yang hanya dimiliki oleh Allah Swt.
Untuk mempermudah penjelasannya, kami berikan contoh berikut: misalkan seseorang memliki bahan mentah A, lalu ia mengolahnya menjadi bahan B, kemudian diubah sehingga menjadi bahan C dan terakhir menjadi benda D. Tentang penciptaan benda D yang telah mencapai bentuk jadinya, setelah mengalami beberapa proses perubahan, kita bisa saja mengatakan bahwa D berasal dari bahan A, atau bahan B atau dari bahan C.
Bagi Allah-lah sifat yang Maha Tinggi. Dia berfirman: “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy-Syuura: 11)
Sebagaimana kalau kita perhatikan ayat lainnya, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah (thîn)—”Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”—kita mendapatkan hal yang sama, yaitu penggunaan huruf ‘min’ yang menunjukkan arti kata ‘sebagian’.
Dan seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, jenis tanah ini atau thîn adalah merupakan perpaduan antara air dan debu (turâb). Mengenai cara pencampurannya dan hakikatnya, serta kadar masing-masing unsur pembentuk manusia, maka hal itu tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah Swt.
Sebagian dari musuh Islam, ada juga yang membuat bantahan atas firman Allah Swt: “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani”. Mereka berkata, “Dari apa sebenarnya manusia diciptakan? Apakah dari tanah (debu)? Atau dari air mani? Jika benar manusia diciptakan dari tanah sekaligus dari air mani, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kami katakan, sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa manusia tercipta dari gabungan beberapa unsur zat yang berjumlah 16, jumlah yang sama yang menjadi unsur zat yang membentuk tanah (turâb).
Dan manusia mempunyai komposisi khusus dalam perpaduan antara unsur-unsur ini dalam persentase kadarnya. Tidak ada seorang pun yang memiliki kesamaan kadar unsur-unsur yang membentuk tubuhnya. Allah Swt telah mengatur itu semua dengan kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Dia telah menetapkan komposisi unsur-unsur tanah ini sesuai kehendak-Nya. Inilah tahapan pertama bagi penciptaan manusia dari unsur tanah.
Selanjutnya, unsur-unsur yang akan membentuk manusia itu sesuai kadar yang telah ditentukan berubah dalam bentuk janin, ketika dua orang manusia yang berlainan jenis melakukan hubungan badan, dan terjadi pertemuan antara sperma laki-laki dengan sel telur perempuan yang kemudian berproses menjadi janin. Demikianlah Allah Swt menetapkan unsur-unsur tanah dan air mani, untuk menciptakan seorang manusia.
Untuk memudahkan penjelasannya, kami berikan gambaran berikut ini, seorang ilmuwan, ketika memiliki keinginan untuk membuat hasil karya tertentu, terlebih dahulu, ia menetapkan bahan-bahan tertentu sesuai yang ia butuhkan sebelum ia memulai pekerjaannya. Setelah bahan yang dibutuhkan tersedia sesuai kuantitas dan kualitas yang diperlukan, maka ia dengan mudah dapat menghasilkan karyanya. Demikianlah Allah Swt menentukan unsur-unsur yang digunakan-Nya untuk menciptakan manusia. Dan bagi-Nya Sifat Yang Maha Tinggi.
Sesungguhnya ayat-ayat Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur’an, mudah untuk dicerna oleh akal, karena logis dan sesuai dengan realita. Hanya orang-orang yang akal dan hatinya tertutupi ‘kedengkian’ yang tidak mendapatkan petunjuk-Nya.
Selanjutnya dalam ayat lain, Allah Swt menjelaskan bahwa air yang darinya manusia diciptakan adalah air mani yang dalam bahasa Arabnya disebut “maa-un mahiin” atau “maa-un hayyin”, yang memiliki arti sebagai air yang mempunyai potensi kehidupan yang lemah. Dan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa Allah Swt pun telah menciptakan manusia dari air mani (nuthfah). Nuthfah ini adalah air mani laki-laki atau sperma.
Untuk dapat memahami petunjuk ilmiah yang ada dalam firman Allah Swt: “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” kita sebaiknya memberikan penjelasan tentang kelompok binatang bersperma atau spermatozoon.
Spermatozoon, sebagaimana tampak dalam gambar, terdiri dari bagian kepala, bagian tengah dan bagian ekor. Dengan menggunakan ekornya ini, binatang ini hidup dalam saluran air mani yang memberinya makanan. Dan dikarenakan binatang ini merupakan makhluk hidup, maka tentunya ia juga berasal dari air, sesuai firman-Nya: “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup”.
Namun kekuatan yang dimiliki binatang ini sangat lemah, sehingga kebanyakan dari spermatozoon ini mati ketika terjadi pembuahan (fertilisasi). Akan tetapi, dengan kekuasaan Allah, seseorang ketika mengeluarkan air maninya, jumlah yang ia keluarkan, bisa mencapai 300 sampai 500 juta spermatozoon. Hal itu sebagai tanda ke Maha Tahuan Allah, karena dari jutaan spermatozoon ini akan mati, saat terjadi pembuahan antara sperma laki-laki dan sel telur perempuan.

Meskipun binatang ini lemah, namun binatang inilah yang menjadi penentu jenis kelamin dari janin yang dikandung, apakah laki-laki atau perempuan. Pengetahuan ilmiah ini, secara menakjubkan dijelaskan Al-Qur’an dalam kata-kata yang singkat namun padat, ketika Allah Swt berfirman: “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?”

Terlebih lagi, jika kita memerhatikan cara pengungkapan di atas, di mana Al-Qur’an menyampaikannya dalam bentuk pertanyaan. Seolah-olah Allah berkata kepada semua manusia—baik yang beriman kepada-Nya maupun yang tidak beriman dan mengingkari kekuasan-Nya: “Adakan penelitian oleh kalian berdasarkan ilmu genetika yang telah kalian dapatkan! Lalu periksalah kondisi spermatozoon ini. Kemudian bandingkan antara penemuan ilmiah yang kalian dapatkan dengan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an!”

Jika kalian mendapatkan kebenaran dalam Al-Qur’an, maka berimanlah! Dan jika tidak, maka kalian bebas berbuat apa saja! Demikianlah cara pengungkapan Al-Qur’an. Dan pada realistasnya, tidak mungkin akan terjadi perbedaan antara ilmu pengetahuan dan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an sebagai Kitab Suci yang diturunkan Allah, tidak mungkin di dalamnya terdapat kebohongan dan kebatilan. Karena yang menurunkannya adalah Allah, yang telah menciptakan manusia dan alam semesta ini. Bagaimana realitas kehidupan dan penciptaan akan bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh penciptanya.

Selanjutnya, kita akan mencoba menjelaskan tentang petunjuk ilmiah lainnya, yang terdapat dalam firman Allah Swt: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging, yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu, dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan.” (QS Al-Hajj: 5)
Pada bagian terdahulu, telah dijelaskan tentang tahapan penciptaan manusia dari air mani, di mana sebelumnya kadar unsur-unsur tanah bagi penciptaan seorang manusia, telah ditentukan oleh Allah. Dalam pembahasan berikut ini, kami akan menjelaskan kelanjutan dari tahapan tersebut, di mana Allah telah menentukan peta gen tertentu yang mengandung semua sifat keturunan bagi seorang manusia yang akan diciptakan-Nya. Dalam peta gen ini, Allah menentukan lokasi dan fungsi dari setiap gen yang dibawa oleh kromoson-kromoson yang terjalin dalam sebuah jaringan.
Janin pada pertama kalinya terbentuk dari sel yang dinamakan zygote yang dihasilkan dari pembuahan antara sperma dan sel telur. Kandungan sifat keturunan yang dimiliki oleh masing-masing orang tua, yang dibawa melalui kromoson inilah yang mengarahkan pembentukan janin dan perkembangannya. Peta kromoson ini, seperti buku panduan yang tidak mungkin ditiru dan disalin seperti aslinya, meskipun dengan menggunakan ilmu dan teknologi tinggi. (Perhatikan! Peta kromoson mengatakan dengan pasti akan kesaksiannya bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”).
Namun sebelum proses pembentukan janin dan perkembangannya, terjadi proses penentuan jenis kelaminnya dikarenakan adanya perbedaan perkembangan antara janin laki-laki dan perempuan dan perbedaan anggota tubuhnya. Yang berfungsi untuk menentukan jenis kelamin ini, adalah nuthfah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an secara ringkas dalam firman Allah: “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani (nuthfah).” (QS Al-Hijr: 26)
Setelah penentuan jenis kelamin janin dan proses pemindahan kandungan sifat keturunan orang tua yang dibawa oleh kromoson, selanjutnya adalah periode berikutnya yaitu periode alaqah atau segumpal darah.
Al-alaqah dalam bahasa Arab berarti darah yang membeku. Dan hal ini terbukti setelah dilakukan pengambilan gambar atas janin pada periode ini dalam bentuk darah yang membeku, di mana anggota tubuh belum terbentuk. Setelah dilakukan pengambilan gambar pada periode selanjutnya, didapatkan bahwa janin telah berubah dalam bentuk segumpal daging (mudh-ghoh) yang menampakkan bentuk tubuh yang sempurna dan yang belum sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran: “kemudian dari segumpal daging, yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna”.
Daging ini kemudian menempel di dinding rahim sampai waktu yang ditentukan-Nya, yaitu waktu kelahiran. Rahim bagi janin adalah seperti tempat tinggal dimana ia menetap di dalamnya selama beberapa waktu tertentu sampai saatnya ia keluar ke alam dunia.
C.    Konsep Ruh
 Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.
    Kata روح untuk ruh
    Kata ريح (rih) yang berarti angin
    Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.
Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.3 Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat
روحانيون * روحاني        
Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup
الروح انه ما به حياة النفس
atau seperti yang dikatakan al-Farra'
الروح هو الذي يعيش به الإنسان
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti:
            Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr 4.
    (الروح الأمين , روح القدس , (والروح الملئكة
    Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
    وأيدهم بروح منه
    Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.6
    وكذلك أوحينا إليك روحا من امرنا
Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu dipandang mu'anath dan lainnya

D.    Kedudukan dan Peranan Manusia
. Setelah kita mengungkap tentang penciptaan, fitrah, dan karakteristik manusia, telah jelas bahwa manusia adalah mahluk yang paling sempurna diantara mahluk lainnya. Manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan naluri-nalurinya, baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat spiritual. Sehingga manusia bisa mengangkat derjatnya dari mahluk yang lain.
Tuhan menciptakan manusia bukan tanpa rencana, dari segi hubungannya dengan tuhan, manusia berkedudukan sebagai hamba (makhluq) dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk tuhan adalah makhluk yang terbaik.
Manusia adalah hamba Allah yang diciptakan untuk menjalankan rencana Allah SWT. Allah menciptakan manusia dengan suatu misi agar manusia menyembah dan tunduk pada hukum-hukum Allah dalam menjalankan kehidupan dimuka bumi ini, baik yang menyangkut  hubungan dengan Allah atau dengan sesama manusia. Dari misi diatas, dapat dimengerti bahwa tugas manusia didunia adalah untuk beribadah secara ikhlas, karena Allah tidak membutuhkan manusia melainkan manusia yang membutuhkan-Nya.
Jika Allah menciptakan sesuatu, pasti sesuatu tersebut mempunyai guna/fungsi, tak terkecuali manusia. Manusia diciptakan Allah adalah sebagai makhluk yang paling sempurna dimuka bumi, maka secara otomatis manusia adalah pemimpin (khalifah) yang nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya. Sebagai khalifah berarti manusia adalah wakil Allah damuka bumi dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya di bumi. Jika manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, maka kesatuan manusia dan alam semesta ini dapat terjaga dangan baik.

E.     Hakikat Manusia
. Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “
Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.
Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “
Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Definisi tentang manusia akan banyak kita jumpai dalam berbagai literatur, terutama pada kajian filsafat dan antropologi. Dalam bidang Humaniora, Dr. Alexis Carrel (peletak dasar humaniora barat) mengatakan bahwa manusia adalah makhluq yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya. Sementara itu, Sastraprateja mendefinisikan manusia sebagai makhluq yang historis. Menurutnya, hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia.
Lain halnya dengan al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beliau mendefinisaikan manusia sebagai yang diciptakan dari satu gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala unsur tanah, yang tanah itu terdapat segala unsur yang baik, yang kotor, yang mudah, yang sedih, yang mulia, dan yang hina. Al-Imam Ibnu Qayyim mendefinisikan manusia pada hakikat penciptaannya. Berangkat dari asal penciptaannya, terlihat bahwa berbagai potensi ada pada diri seorang manusia. Potensi baik, buruk, hina, mulia termasuk angel tendention dan devil tendention ada pada manusia.

F.     Tujuan Hidup Manusia
.               Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini pasti mempunyai asal usul dan tujuan keberadaannya, begitu juga manusia. Asal mula dan tujuan hidup manusia merupakan substansi yang sulit dijelaskan. Karena akal manusia sangat terbatas untuk mencapai pada substansi tersebut. Pikiran manusia tidak mampu menjelaskan secara terperinci tentang substansi asal mula tersebut. Meskipun demikian, pikiran manusia dapat dipastikan mampu secara logis menyimpulkan dan menilai bahwa hakikat asala mula itu hanya ada satu,  bersifat universal, dan berada di dunia metafisis. Karena itu, bersifat absolut dan tidak mengalami perubahan serta sebagai sumber yang ada. Ketika manusia menyadari bahwa asal mula dan tujuan hidup hanya satu, bersifat universal dan berada di dunia metafisis, maka pernyataan itu merujuk pada keberadaan Tuhan. Dalam agama islam, manusia meyakini bahwa ia berasal dari Allah SWT dan nantinya akan kembali kepada-Nya juga. Akal pikiran manusia dapat memastikan bahwa kehidupan ini berawal dari causa  prima (Tuhan) dan pada akhirnya kembali kepada causa prima (Tuhan) pula. Jadi, jika demikian adanya maka dalam islam setidaknya manusia mempunyai  beberapa tujuan. Tujuan manusia hidup paling sedikit ada empat macam; beribadah, menjadi khalifah Allah di muka bumi (yang baik dan sukses tentunya), memperoleh kesuksesan (kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan) di dunia dan akhirat, dan mendapat ridho Allah.















BAB IX
ESKATOLOGI ISLAM
.           Eskatologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan setelah mati dialam akhirat dan al-Qiyāmah "Pengadilan Terakhir". Eskatologi sangat berhubungan dengan salah satu aqidah Islam, yaitu meyakini adanya hari akhir, kematian, kebangkitan (Yawm al-Qiyāmah), mahsyar, pengadilan akhir, surga, neraka, dan keputusan seluruh nasib umat manusia dan lainnya.
Umat muslim meyakini bahwa kehancuran dunia terjadi dimana orang-orang beriman sudah tidak ada lagi dimuka bumi, yang tersisa hanya orang-orang jahat yang kembali dalam kondisi zaman jahiliyah.Kemudian terjadinya hari kiamat tersebut dikatakan akan terjadi pada hari Jum'at.Kiamat dikatakan tidak akan terjadi sehingga tidak ada lagi manusia yang menyebut nama Allah.
Seperti agama Abrahamik lainnya, Islam mengajarkan tentang kebangkitan para makhluk yang telah mati, sebagai salah satu rencana penyelesaian dari semua penciptaan Tuhan dan kekekalan dari roh-roh para makhluk. Bagi orang yang beriman akan di hadiahkan oleh Allah sebuah surga sementara bagi orang yang tidak beriman maka akan dihukum di masukan kedalam neraka.
A.    Tentang Kematian
.           Kematian (ajal) dalam perspektif filsafat Islam adalah terlepasnya pengurusan dan pengaturan jiwa (nafs) atas badan dan terpisahnya jiwa dari badan. Tentu saja, pandangan ini bersumber dari al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang tidak memandang kematian sebagai ketiadaan, kehancuran, dan kesirnaan.
            Dalam teks-teks Islam, terdapat ragam redaksi yang digunakan untuk kematian dimana dari redaksi-redaksi tersebut memiliki keseragaman makna dan common point.  Common point tersebut adalah bahwa kematian bukanlah ketiadaan dan kesirnaan, namun perpindahan dari satu kediaman dan alam menuju kediaman dan alam lainnya. Lantaran manusia terkerangka dari ruh dan badan. Dengan kematian, yang merupakan tiadanya kehidupan jasmani secara lahiriah, maka ruh berpindah ke alam lain, alam barzakh dan akhirat. Dan inilah makna dan arti kematian bagi manusia.

Kematian terjadi tatkala ruh dicabut oleh malaikat maut sebagaimana pada waktu tidur. Bedanya, kematian (ajal) merupakan sebuah tidur yang panjang. Dan tidur adalah kematian sementara atau kematian pendek, dan pasca kematian adalah wafat (berpindah) bukan kebinasaan, kesirnaan, dan ketiadaan. Kematian adalah kelahiran baru dari rahim tabiat alam dunia, yang berdasarkan kelahiran ini manusia memasuki alam baru yang tidak dapat dibandingkan dengan dunia natural ini, sebagiamana alam rahim tidak dapat dibandingkan dengan dunia natural dan alam materi.

Kematian merupakan jembatan dan lintasan dimana dengan melintasinya, manusia mengayungkan langkah kakinya menuju alam baru dan terselamatkan dari pelbagai kesulitan dimana hal ini dapat terealisasi tatkala kediaman di dunia dimakmurkan dan kediaman akhirat tidak dikorbankan dan dirusak.
Dalam menjawab pertanyaan yang mengemuka bahwa apakah kematian atau ajal manusia dapat ditunda? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dalam banyak ayat dan riwayat kita mengenal dua jenis ajal: Ajal muallaq (bersyarat) dan ajal pasti (tetap) yang dengan kata lain yang disebutkan dalam nash-nash agama.
“Ajal muallaq” setiap orang adalah durasi masa seseorang hidup di dunia, namun ajal ini dapat berkurang dan bertambah. Misalnya dengan merajut hubungan silaturahmi dan bersedekah maka ajal ini akan ditunda dan ditambah,  sementara ketika menyakiti orang tua dan memutuskan hubungan silaturahmi ajal tersebut akan berkurang. Dan ajal sedemikianlah yang tercatat pada lauh mahw wa itsbat. Adapun ajal pasti adalah ajal yang tidak berubah dan termaktub pada ummul kitab.

B.     Hari Kiamat dan Kebangkitan
.               Yawm al-Qiyāmah (Arab: يوم القيامة) adalah "Hari Kebangkitan" seluruh umat manusia dari Adam hingga manusia terakhir. Ajaran ini diyakini oleh umat Islam, Kristen dan Yahudi. Al-Qiyāmah juga nama dari salah satu ayat ke 75 di dalam kitab suci Al-Qur'an.
Kalimat kiamat di dalam bahasa Indonesia adalah hari kehancuran dunia, kata ini diserap dari bahasa Arab "Yaum al Qiyamah" , yang arti sebenarnya adalah hari kebangkitan umat. Sedangkan hari kiamat (kehancuran alam semesta beserta isinya) dalam bahasa Arab adalah "As-Saa’ah".

C.    Kehidupan Akirat
.               Akhirat (Bahasa Arab: الآخرة; transliterasi: Akhirah) dipakai untuk mengistilahkan kehidupan alam baka (kekal) setelah kematian/ sesudah dunia berakhir. Pernyataan peristiwa alam akhirat sering kali diucapkan secara berulang-ulang pada beberapa ayat di dalam Al Qur'an sebanyak 115 kali, yang mengisahkan tentang Yawm al-Qiyâmah dan akhirat juga bagian penting dari eskatologi Islam.
Akhirat dianggap sebagai salah satu dari rukun iman yaitu: Percaya Allah, percaya adanya malaikat, percaya akan kitab-kitab suci, percaya adanya nabi dan rasul dan percaya takdir dan ketetapan. Menurut kepercayaan Islam, Allah akan memainkan peranan, beratnya perbuatan masing-masing individu. Allah akan memutuskan apakah orang tersebut di akhirat akan diletakkan di Jahannam (neraka) atau Jannah (surga). Kepercayaan ini telah disebut sebelumnya sebagai Hari Penghakiman dalam ajaran Islam.
Akhirat adalah dimensi fisik dan hukum-hukum dunia nyata yang terjadi setelah dunia fana berakhir. Bagi mereka yang beragama samawi meyakini bahwa kehidupan akhirat sebagai tempat dimana segala perbuatan seseorang di dalam kehidupan dunia ini akan dibalas. Namun tidak sedikit juga orang yang meragukan akan adanya kehidupan akhirat (kehidupan setelah kematian). Mereka-mereka yang meyakini adanya kehidupan akhirat ada yang menyatakan: 'Mudahnya meyakini adanya kehidupan setelah kematian sama mudahnya dengan meyakini adanya hari esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, adanya memetik setelah menanam'. Dengan meyakini adanya kehidupan akhirat setelah kehidupan didunia ini akan menjaga seseorang dari bertindak sesuka hatinya, karena ia yakin segala hal yang ia perbuat dalam kehidupannya sekarang akan dituainya kemudian di alam setelah kematian.
D.    Surga dan Neraka
.           tentang gambaran surga dan neraka dalam Al Quran yaitu Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an surat Muhammad (47) ayat 15 yang artinya : "Perumpamaan (taman) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa; di sana ada sungai-sungai airnya tidak payau, dan sungai-sungai airsusu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai khamar (anggur yang memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang mumi. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka. Samakah mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan airyang mendidih, sehingga ususnya terpotong-potong?"
Ayat dalam surat Muhammad ayat 15 tersebut menunjukkan kepada kita orang yang beriman, bahwa surga adalah merupakan tempat bagi orang-orang yang ikhlas dalam beribadah, orang yang beriman dan orang yang bertaqwa kepada Allah swt. Juga bahwa surga adalah merupakan suatu tempat di akhirat yang berisi penuh dengan kesenangan dan kegembiraan bagi hamba Allah.
Kegembiraan dan kesenangan di dalam surga tidak dapat dibandingkan dengan kesenangan dan kegembiraan yang terdapat di dunia yang fana ini. Suatu hal yang belum pernah terlintas dalam perasaan dan hati serta mimpi-mimpi kita, lndahnya panorama di pegunungan dan kesegaran udaranya tidak dapat disamakan dengan indahnya alam di dalam surga. Jika keindahan yang berada di dunia hanya bersifat sementara, maka keindahan dan kesenangan di dalam akhirat bersifat kekal.
Gambaran Kegembiraan orang-orang yang beriman dan keadaan di dalam surga juga digambarkan dalam Al-Qur'an, antara lain dalam Al Quran surat Al Gasyiyah ayat 8-16 yang artinya sebagai berikut: "Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi, disana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna. Di sana ada mata air yang mengalir. Di sana ada dipan-dipan yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya), dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar."
Sedangkan gambaran neraka adalah merupakan suatu tempat di akhirat yang sangat tidak menyenangkan dan tidak menggembirakan. Tempat ini diperuntukkan bagi orang-orang kafir, orang-orang yang melanggar perintah Allah SWT. Di neraka orang-orang yang berbuat dosa melebihi amal baiknya akan mendapatkan siksa dan adzab dari Allah SWT.
Panasnya api yang ada di dalam neraka tidak dapat dibandingkan dengan panasnya api yang ada di dunia ini. Dari keterangan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, kita dapat membayangkan suatu gambaran betapa menderitanya orang yang hidup tersiksa di dalam neraka Jahannam. Antara lain, firman Allah swt. dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' (4) ayat 56 yang artinya:
"Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana."
Juga firman-Nya dalam surat Ibrahim (14) ayat 16- 17 yang artinya:
"Di hadapannya ada neraka Jahanam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah, diminumnya air nanah, diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat".
Juga firman-Nya dalam Al-Qur'an surat Ad-Dukhan (44) ayat 47-48 yang artinya:
"Peganglah dia, kemudian seretlah dia sampai ke tengah-tengah neraka, kemudian tuangkanlah di atas kepalanya azab (dari) air yang sangat panas."

E.     Perjalanan Menuju Tuhan
Pada hakikatnya kehidupan akherat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju surge atau menghindari neraka. Oleh Karena itu ada seorang sufi yang membawa kayu bakar dan kendi berisi air pada kedua tangannya. Ketika ditanya, dia menjawab untuk membajar surge dan menyiram api neraka, karena keduanya telah menyesatkan manusia dari tujuan akhirnya, yaitu kembali mkepada Tuhan, Inna Lillahi wa Inna ilaihi rajiun. Semuanya berasal dari Allah dan kembali kepada Allah.




3 Komentar "Makna dan hikmah filsafat islam"
This comment has been removed by the author. - Hapus

Adakah ruang lingkup pembahasan yang lebih khusus dan detail lagi tentang makna dan hakikat filsafat islam

untuk sementara ini saya belum memiliki yg lebih husus gan tentang hal ini nnti jika sudah menemukan akan saya posting

Back To Top