HERMENEUTIKA DAN KAJIAN AL-QUR’AN
( TELAAH KRITIS KARYA NASR HAMID ABU ZAYD)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester I Mata
Kuliah
BAHASA INGGRIS
Dosen Pembimbing :
BAHASA INGGRIS
Dosen Pembimbing :
Dr,
Abdul Munir, MA

Oleh :
Kholilurrohim
PROGRAM
PASCA SARJANA MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM MALANG
2015
A. PENDAHULUAN
Makalah ini membahas karya Nasr Hamid Abu Zayd tentang pendekatan
digunakan dalam memahami Al – Qur’an. Yang menjadi kajian utama adalah karyanya
yang berjudul ‘Mafhum An-Nash Dirasah Fi Ulum Al Qur’an’ yang
diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyin dengan judul“ Tekstualitas
Al-Qur’an : Kritik Terhadap Al – Qur’an “. Hal ini menarik
untuk dibahas dengan beberapa alasan, :
1. Cara baru yang digunakan Abu Zayd dalam
mengkaji Al – Qur’an sebagai kitab suci, yaitu dengan memakai metode
hermeneutika.
2. Cara baru yang digunakan Abu Zayd telah
melahirkan kontroversi dikalangan umat islam, dan pengaruh terhadap
atmosfer intelektual muslim , termasuk di Indonesia.
3. Kontrovesi tersebut telah melahirkan tuduhan,
yang pada mulanya pemikiran pada wilayah Akademik beralih wilayah Teologis.
Cara baru yang digunakan oleh Abu Zayd memang tidak lazim jika dilihat
dari tradisi (ilmu-ilmu Al – Qur’an ) yang telah berlaku. Sebab metode yang ia
gunakan ini merupakan adopsi dari wilayah luar islam yang digunakan
sebagai alat untuk memahami kitab yang “bukan” islam . Ketidak
laziman itu yang mengakibatkan Abu Zayd diperlakukan tidak lazim dalam
kalangan Islam di negaranya sendiri maupun di luar. Sampai akhirnya ia
sendiri mengalami penderitaan relejius, yakni pemurtadan.
Kata toleransi menjadi mahal bagi Abu Zayd . Sebab kesadaran ilmiyah yang ia
gulirkan justru menyebabkan ia menjadi korban dan menderita secara relejius.
Makalah ini dibangun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Secara ontologi, makalah ini
hendak menganalisa tentang hakikat hermeneutika sebagai sebuah
metode filsafat dan metode tafsir
2. Secara epistomologi , makalah
ini hendak mengungkap tetang “kerja” Abu Zayd menerapkan hermeneutika dalam
kajian Al – Qur’an
3. Penulis makalah hendak
melihat sisi kebermaknaan dari hermeneutika ketika diterapkan dalam
kajian Al – Qur’an .
Untuk mamantapkan arah pikiran, masalah dirumuskan sebagai
berikut :
1. Apa dan bagaimana
hakikat hermeneutika sebagai sebuah metode filsafat dan tafsir
2. Bagaimana Abu Zayd menerapkan
metode hermeneutika dalam kajian Al –Qur’an.
B. BIOGRAFI NASR HAMID ABU ZAYD
Gambaran riwayat hidup Nasr Abu Zayd sebagaimana diungkapkan oleh
Henri Shalahuddin sebagai berikut :
“ Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir.
Pada usia 8 tahun dia sudah berhasil menghafal Al – Qur’an 30 Juz seperti
kebanyakan anak-anak muslim dinegaranya . Pendidikan tingginya, mulai dari
strata satu,dua dan tiga dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di
Universitas Kairo dengan predikat highst honours … ia pernah
tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980) , saat memperoleh beasiswa
untuk penelitian doktornya di Institut Midle Eastren Studies, Universitas
Pensylvania,Philadelphia, USA. Di universitas ini dia mempelajari Folklore dan
metodologi kajian lapangan ( fieldwork).
Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis pada saat
usianya menginjak 49 tahun . Kemudian ditahun yang sama dia
mengajukan karya-karya untuk dipromosikan mendapatkan gelar
professor penuh fakultas sastra Universitas Kairo. Diantara
sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqdu Al Khitab
Al-Dini yang diterbitkan pertama kalinya
pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit didunia islam. Namun
ditahun itu juga dimulailah “kasus Abu Zayd” dipersidangan yang berakir dengan
vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun 1995.
Dalam putusan di pengadilan , kesalahan – kesalahan yang
dilakukan oleh Abu Zayd disimpulkan dengan istilah “ 10 DOSA
BESAR ABU ZAYD : ABU ZAYD’S TEN BIG SIN OR
MISTAKES”, sebagai berikut :
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam Al Qur’an
seperti ‘Arsy , Malaikat, Syaitan, Jin, Surga dan Neraka adala ‘MITOS
BELAKA’.
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘Prodak
Budaya’ (muntaj tsaqofi) dan
karenanya mengingkari status azali al Qur’an sebagai Kalamullah yang
telah ada dalam Al Lawh al Mahfudz.
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘teks
linguistik’ (nashsh lughawi )
ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah berdusta dalam
menyampaikan wahyu dan al Qur’an adalah karangan beliau.
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al Qur’an ( ‘Ulum al Qur’an )
adalah tradisireaktioner serta berpendapat dan mengatakan
bahwa Syari’ah adalah faktor penyebab kemuduran Umat Islam.
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa Iman kepada perkara-perkara ghoib
merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa Islam adalah Agama Arab, dan karenanya mengingkari
statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa teks al Qur’an yang ada merupakan versi
‘Quraiy’ dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Qurays.
- Mengingkari
otentisitas Rasulullah SAW.
- Mengingkari
dan mengajak orang keluar dari dari otoritas teks-teks Agama
(maksudnya : al Qur’an dan Hadist)
- Berpendapat
dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks Agama adalah salah
satu bentuk perbudakan.
Sehingga karya-karyanya dinilai kurang bermutu dan promosinya
pun ditolak bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak karena isinya
melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah SAW., menodai Al-Qur’an dan
menghina ulama’ salaf. Profesor ‘Abdul Sabur Shahin’, dalam khotbahnya di
Masjid “Amru bin “Ash menyatakan bahwa Abu Zayd adalah murtad.
Setelah mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak ,
pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya memutuskan untuk
hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.
Menariknya justru di negeri Belanda inilah Abu Zayd justru mendapatkan
sambutan hangat dan perlakukan istimewa dan dihormati sebagai ilmuwan besar
dalam bidang Studi Al Qur’an , dianugrahi gelar Profesor dibidang
bahasa Arab dan Studi islam dari Leiden University, sebuah
Universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam Selatan.
Saat ini dia menduduki “kursi Ibnu Rusyd dalam bidang
kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrech Belanda. Selain itu juga
membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Leiden dan aktif terlibat
dalam proyak riset tentang hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai ktitik
cultural , bekerja pada team “ Islam dan Modernitas” pada tahun 2005, dia
menerima anugrah “ The Ibu Rushd Prize Of Fredoom Thought’, sebuah
penghargaan atas usahanya mengkapanyakan ‘ Kebebasan berfikir
‘ dari Mesir.
Dari sinilah dia justru berkesempatan mendidik sarjana dan
dosen dari Indonesia. Kini sejumlah muridnya telah menempati pos- pos
penting di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Disamping itu
pemikirannya pun telah banyak menarik perhatian dan bahkan diajarkan diberbagai
perguruan tinggi di Indonesia…. “ .
Biografi Abu Zaid memberi gambaran kepada kita bahwa
pemikiran yang ia hasilkan memiliki relevansi dengan karya – karyanya. Hal ini
bisa kita lihat dalam karya-karyanya , yang secara umum , menyorot
tentang studi Al Qur’an Karya –karya yang dihasilkan Abu Zaid,
dapatlah dipetakan sebagai berikut :
1. Karya-karya yang bertema Studi Al Qur’an
1. Rasionalisme dalam Tafsir : Studi
Konsep Metafor menurut Mu’tazilah : Al Ittijah al-‘aqliyah fit Tafsir : Dirosah
fi mafhum al majaz ‘inda al Mu’tazilah, Bairut, 1982.
2. Filsafat Hermenutika : Studi Hermeneutiika al Qur’an
menurut Muhyidin ibn ‘Arabi ( Falsafat al Ta’wil al Qur’an ‘indi Muhyiddin inb
Arabi, Bairut, 1983.)
3. Konsep Teks : Studi Ulumul Qur’an ( Mafhum An Nashsh :
Dirosah fi ulumul Qur’an, Cairo, 1987 )
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutika,(
Isykaliyyat al Qiro’ah wa Aliyyat at Ta’wil, Cairo, 1992 )
5. Kritik Wacana Agama ( Naqd al-khitab ad diniy, 1992
)
6. Imam Syafi’I dan Peletakkan Dasar Idiologi Tengah ,
( al Imam asy syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat al
wasathiyyah, Cairo 1992.
7. Al Ittijah Al ‘Aqli fi Al-Attafsir : Dirosah
fi Qodiyat al Majas fi al Qur’an “
inda Mu’tazilah ( Tren rasional dalam penafsiran : kajian
dalam masalah metafora dalam al Qur’an menurut Mu’tazilah ).
8. Falsafah al’Takwil : Dirosah fi al Ta’wil
inda Muhyiddin ibnu ‘Arabi ( Filsafat Hermeneutika : Kajian
Hermeneutika dalam al – Qur’an Ibnu ‘Arabi ).
9. ‘Ilmi Al-‘Alamat ( Sistem Isyarat )
10. Retinhking the Qur’an : Toward Humanistics
Hermeneutics
2. Karya yang bertemakan tentang wacana kemodernan , kajian
tokoh klasik dan politik yaitu :
1. Imam Al-Shafi’I wa Ta’sis Al- Aydulujiya al-Wasitiyah
2. Naqdu Al-Kitab Al-Din ( Kritik wacana
keagamaan )
3. Al Mar’ah fi Khitab al Azmah ( Wanita dalam
wacana krisis )
4. Al- Tafkir fi zamani al tafkir didu al jahli wa al
zaif wa al kharofat ( Pemikiran didalam masa pengafiran melawan
kebodohan dan khufarod )
5. Al Khilafah wa Sultah al Umah ( Khilafah dan
penguasah Umat )
6. An Nass wa Sulton wa al Hakikah : Irodatu
al Ma’rifah wa Irodatun al Haymanah ( Teks kekuasaan, relaita :
kelendak ilmu pengetahuan dan Hegemonia kekuasaan ).
7. Dawairul Khouf : Qiro’ah fi Khitabi al Ma’a (
lingkaran ketakutan : pembacaan wacana wanita )
8. Al khitab wa al Ta’wil ( Wacana dan
hermeneutika )
9. Hakadza Takallama ibnu ‘Arobiy ( seperti
inilah ibnu ‘Arobi berbicara )
10.Voice of an exile ( Suara dari pengasingan )
Ditambah beberapa artikel dalam bahasa Inggris yang
melengkapi pengembaraan intelektual Abu Zayd dalam bidang keilmuan
keislaman dan humaniora. Dan tidak bisa dipisahkan pengembaraan
intelektualnya dengan kedekatannya terhadap hermeneutika.
Namun demikian
yang terpenting dalam memahami intelektualitas Abu Zayd dalam keseluruhan
karyanya adalah keinginan nalar akademik relejinya untuk membangun
‘kesadaran ilmiyah bahwa agama islam harus difahami
sebagai suatu yang tidak sekedar normatif tetapi sesuatu yang terbuka
untuk ditelaah secara ilmiah. Terutama masalah tradisi yang tidak perlu
dipuja-puja seolah-olah terlindungi oleh dinding anti kritik (status quo) dan
menutup adanya kemungkinan berijtihad.
C. HERMENEUTIKA, METODE TAFSIR
Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan “. Maka kata
benda hermeneiasecara harfiyah dapat diartikan sebagai
“penafsiran” atau Interpretasi . Jika dikaitkan dengan cerita Hermes
sebagai simbol seorang duta penerima pesan yang harus mampu
menginterprestasikan pesan yang ia terima dari dewa Jupiter maka
hermeneutic pada akhirnya diartikan sebagai “ proses mengubah sesuatu situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti. Dalam wilayah yang lebih aplikatif pada
dasarnya hermeneutika berhubungan dengan bahasa.
Bahasa merupakan media perantara komunikasi manusia . pada
hakikatnya bahasa dianggap sebagai ‘ suatu sistem tanda yang menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan yang membentuk tatabahasanya, yakni sebagai kode
murni atau system komunikasi, atau sebagai seperangkat pola tingka laku
yang telah ditransmisikan secara kultural dan dipakai oleh sekelompok
individu, yakni kode sebagai bagian dari kebudayaan . Bahasa muncul
dari pengalaman mental yang terproduksi dalam fikiran manusia
yang kaya akan warna, imajinasi dan khayalan. Namun ketika produk
dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk bahasa lisan berupa ungkapan akan mengalami
penyempitan atau pengkerutan. Lebih menyempit lagi apabila apa yang
terproduksi dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk bahasa tulis
berupa kata-kata. Penyempitan yang terjadi dalam bahasa manusia
tersebut menghasilkan suatu produk yang tereduksi, berbeda-beda dan
bahkan tidak lengkap bentuk pengungkapannya dalam wilayah komunikasi,
dibandingkan dengan proses yang terjadi dalam fikiran, sehingga sangat
memungkinkan terjadi kesalahfahaman , kekurangfahaman oleh penerima
informasi ketika menerimanya dari pemberi informasi. Lebih parah lagi apabila
kekeliruan pemahaman , penerima informasi disampaikan kepada orang ketiga
yang tidak tahun sama sekali proses dialog. Maka muncullah ‘lingkaran
kesalahfaman ‘ dalam komunikasi.
Pada
hakekatnya, komuninasi bukan hanya terbatas antara dua individu yang berdialog.
Setiap orang yang membaca apa yang ada disekelilingnya sebenarnya tanpa sadar
telah melakukan dialog . dari sudut semiologi, apapun yang kita jumpai
disekeliling kita adalah teks yang bisa kita baca dan tafsirkan. Teks adalah
sebuah tanda atau symbul ( icon). Tanda sekaligus juga memeberi tanda dari
sesuatu yang ditandai ( pesan yang tersimpan) ataupun pencipta tanda.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan apa fungsi dari tanda tersebut ? Apa
peran serta maknanya ? tanda dalam hati ini dapat difungsikan pada dua
sisi yang berbeda perannya. Satu sisi, tanda berperan sebagaisubyek ketika
ia menyampaikan suatu pesan kepada orang yang membacanya. Satu sisi
lain, ketika tanda dibaca maka tanda berperan sebagaiobyek baca
yang difahami maksud pesannya. Dengan demikian tanda memiliki
peran ganda dalam aktifitas dialog yakni sebagai subyek sekaligus sebagai
obyek. Dan ketika manusia membaca setiap tanda, pada hakikatnya dia telah
melakukan proses penafsiran.
Penafsiran bukan perkara sederhana, tetapi merupakan aktifitas komplek
yang melibatkan potensi fisik dan mental. Dalam aktifitas ini sangat
mungkin terjadi kesalahan dalam menafsirkan. Adanya perbedaan bahasa yang
digunakan pada setiap masyarakat, keikutsertaan emosional yang menyertai
ungkapan dalam sebuah bahasa, juga merupakan kendala penafsiran, sebab ungkapan
yang sama bentuknya, bisa berbeda maksudnya. Contoh, orang ‘ mengaduh’ bisa
juga ditafsirkan karena ia sakit. Atau bermaksud menyayangkan sesuatu terjadi
pada anak kecil yang berbuat salah, jika kata ‘aduh’ diungkapkan oleh seorang
ibu. Begitu juga senyum bisa berbeda-beda maksudnya. Orang terseyum dapat
difatsirkan karena seseorang sedang merasa senang, menghina atau bisa
jadi untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan salahnya.
Perumpamaan lain misalnya kehadiran teks kitab suci yang hadir sebagai
petunjuk umat manusia, juga merupakan sebuah tanda ( ayat Tuhan ) yang jadi
obyek kajian penafsiran. Kitab Al Qur’an misalnya adalah ‘Teks’ sekaligus tanda
firman Tuhan dalam bahasa Arab yang harus difahami umat islam,. Ia hadir
ketengah umat islam secara historis dari Allah SWT. Disampaikan oleh Malaikat
Jibril kepada Muhammad dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih
22 tahun 2 bulan 22 hari. Dari kesekian kitab suci yang ada, Al qur’an lah yang
lebih tanggu dalam menjaga keorsinilannya, memberi tantangan kepada umat
islam untuk mengkajinya dan nampaknnya tidak ada kitab suci setangguh dia.
Al – Qur’an bagaikan magnet yang menarik setiap orang untuk mengkajinya
tetapi sekaligus bagaikan ledakan yang menebarkan berbagai
karya-karya dari hasil pembacaan terhadap dirinya. Terlepas dari kelebihan
tersebut apakah pemahaman terhadap pesan-pesan tuhan sudah tepat sasaran
sesuai dengan maksud Tuhan atau bahkan pemahaman terhadap al-Quran
menjauh dari maksud sebenarnya dari irodah –maqosid
Allah sang pemilik kitab suci ini ? ini merupakan masalah penafsiran dan
lebih khusus masalah hermeneutika.
Berangkat dari permasalahan dalam dialog antar manusia atau dialog antara
manusia dengan tanda-tanda, ataupun keberadaan al Qur’an
sebagai sebuah teks suci dan pesan dari Allah , hermeneutika dijadikan
sebagai tren baru dalam berdialog dengan kitab suci. Dan nampaknya Abu Zayd
memahami bahwa al Qur’an perlu didekati dengan hermeneutika, karena
sesuai sifat hermeneutika, ia menganggap al Qur’an hadir di tengah masyarakat
tidak lepas dari realitas masyarakat Arab waktu itu sebagai seting sosial
yang melatar belakangi al Qur’an ‘harus’ turun . dalam hal ini al Qur’an
turun kebumi satu sisi semacam ‘dipaksa turun oleh relaitas masyarakat
Makkah’, dan pada sisi lain ‘ menghendaki turun ‘ untuk dilihat sebagai sebuah
tanda yang hendak mengubah realitas masyarakat yang telah rusak.
Al - Qur’an sebagai kitab petunjuk ( hudan ) memiliki posisi
sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi
pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas
abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi
Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh
dunia.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi
sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi
pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas
abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi
Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh
dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada
dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal ini dapat
dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun
lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu
adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan
manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti
apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin
menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan
tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa
hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati,
dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus- menerus melalui penafsiran ulang
sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan
tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang sangat luas dalam
rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena
berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah
Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an
yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah
berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha
menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang
berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti
problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut,
maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran,
sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Tawaran Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat
relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi
(ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari
pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya, pesan Allah yang
diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita
pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh
dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka,
teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan
cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan hidup.
Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem
hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an,
disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana
psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau dengan kata
lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas –seorang
ahli bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana.
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika
memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa
dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga
komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika memahami teks
Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang
lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh
Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak
terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsir tidak mungkin
disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi
dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya.
Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan
otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan
akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan tradisi
kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan
metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman
meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai
metodetafsirnya, namun ia telah memberikan bobot besar pada kontekstualitas.
Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an itu justru
merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai tujuan
dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, memahami
pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh
terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat,
merupakan sebuah kemutlakan.
D.PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR ALQUR’AN
Kontroversi penggunaaan hermeneutika telah terjadi dikalangan umat
islam. Tapi bagaimana sebuah metodologi baru dalam melihat hakikat ajaran
agama dengan cara berbeda menimbulkan kontroversi itulah yang perlu
mendapatkan pemahaman mendalam agar nalar berfikir, baik pihak yang pro
maupun yang kontra, bisa lebih arif dan tidak melontarkan ‘vonis’
yang berat dihadapan Tuhan . oleh karena itu pada bagian ini penulis
hendaknya mekanisme pemikiran Abu Zyad ketika mengkaji al Qur’an dengan
hermeneiutika, yang tentu saja dengan sikap ‘netral’ sebagai seorang Akademik.
Sebagaimana sifat dari hermeneutika , melihat suatu teks yang
hadir dalam masyarakat tidak lepas dari realitas masyarakat, maka al Qur’an pun
juga dilihat secara demikian. Abu Zayd menganggap proses turunnya
al Qur’an berkait erat dengan situasi sosial masyarakat Makkah waktu itu.
Berikut ini beberapa hasil thesis yang ia lontarkan dari hasil
kajiannya terhadap al Qur’an dengan metode hermeneutika dan kritikannya
terhadap ‘ulum al Qur’an secara sampling saja.
Thesis pertama, berkaitan
dengan proses turunnya wahyu yang diterima oleh nabi Muhammad saw. Masyarakat
Makkah memiliki keyakinan bahwa seseorang sangat mungkin untuk
berdialog dengan makhluk ghoib, sebagaimana seorang penyair yang dapat
melakukan dialog dengan jinnya yang membacakan sair-sairnya. Demikian
juga juru ramal ( dukun ) dapat melihat apa
apa yang akan terjadi karena memiliki kemampuan berdialog dengan jin,
sehingga ia bisa mengatakan kepada orang lain sesuatu yang akan terjadi,
terlepas akan terjadi betulan atau tidak. Menurut Abu Zayd kepercayaan
masyarakat inilah yang memungkinkan konsep wahyu dapat diterima mereka.
Fenomena wahyu bertumpu pada konsep yang mengakar dalam budaya. Yang
membedakan hanyalah, kalau ramalan seorang dukun diperinta oleh Jin ,
sedangakn Wahyu diterima oleh seorang Nabi diperantai oleh Malaikat. Dan
keduanya ( Jin dan Malaikat ) sama-sama makhluk ghoib yang dipercayai
oleh orang Arab. Dalam hal ini bisa dikatakan Abu Zayd melihat pemahaman
yang diperoleh oleh masyarakat Mekkah tentang wahyu berdasarkan
hermeneutika Hans-Geoge Gadamer. Menurut Gadamer proses mengerti didapat jika
sebelumnya manusia memiliki pra pengertian.
Thesis kedua, berkaitan
dengan keberadaan penerima wahyu pertama yaitu, Nabi Muhammad. Menurut Abu
Zayd keberadaan Nabi Muhammad sebagai nabi penerima wahyu pada hakikatnya
tidak berbeda dari beberapa orang yang mencoba mencari kebenaran ajaran yang
sesunguhnya setelah melihat realitas kebobrokan perilaku masyarakatnya. Gerakan
pemikiran ini menurut Abu Zayd adalah meanstreem dari upaya
mencari Agama yang hanif. Mereka mengembara dalam melihat ajaran
agama. Terutama Agama para Ahli Kitab. Mereka diantaranya adalah Waraqah
Bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin al Khuwairis, Zaid bin harist bin
naufal. Agama yang hanif pada kenyataannya adalah
agama Ibrahimiy.Pencarian agama Ibrahimiy ini
pada hakekatnya proses pencarian identitas bangsa Arab yang terancam oleh
kekuatan -kekuatan dari luar yakni kekuatan dari Byzantium dari
barat dan utara, kekuasaan Abraha dari arah selatan di Yaman
dan kekuatan Kisra penguasa kerajaan Persia di
belah timur. Diantara orang-orang yang berada dalammeanstreem gerakan
keagamaan itu, Rasulullah Muhamadlah yang dipilih oleh Tuhan untuk
menjadi penyampai ajaran agama hanif yakni Agama ibrahimy. Dengan
demikian pengangkatan Muhammad sebagai Nabi bukan hal yang terjadi tanpa
sebab sosial, namun bersambung dengan realitas sosial dimana ia hidup dan
berkehendak terhadap kekuatan perubahan, sekaligus menjadi jawaban baginya
tentang kebenaran yang ia cari. dalam hal ini Abu Zayd dapat
dikatakan merujuk pada hermeneutika Wilhelm Dilthey bahwa
pengalaman didapat jika manusia bisa mengkontruksikan
apa yang ia peroleh dalam realitas sosial melalui tiga kategori
yaitu nilai, maksud dan makna.
Thesisn Ketiga kriteria- kreteria
perbedaan antara surat Makkiyah dengan Madaniyah.
Menurut Abu Zayd kriteria perbedaan
antara Makkiy dan Madany yang dijelaskan oleh ulama’ salaf tidak
kuat dan banyak dijumpai kelemahan yakni perbedaan yang mereka buat hanya
berdasarkan tempat turunnya surat saja . karena, menurut
Abu Zayd ayat yang turun setelah hijrah ada juga yang diturunkan di Makkah, dan
lebih bernuansa kerisalahan dan hukum. Dan juga sebaliknya. Menurut Abu Zayd
perbedaan seharusnya didasarkan pada realitas dimana surat itu turun. Perbedaan
Makky dan Madaniy adalah berdasarkan kondisi sosial masyarakat sebagai
sasaran wahyu. Surat-surat Makky bersifat Indzar (peringatan) sedangkan
Madaniy bersifat risalah (pesan atau ajaran ).
Makky bersifat indzar sebab jika dilihat kondisi sosial masyarakat
Makkah yang rusak secara moral dan akidah membutuhkan wahyu yang bersifat
memberi peringatan dan sekaligus ancaman terhadap kerusakan yang telah
mereka lakukan. Sedangakan Madaniy lebih bersifat risalah karena
Muhammad setelah hijrah ke Madinah perlu menata kondisi sosial masyarakat
yang sudah bisa dikendalikan dalam sebuah system struktur masyarakat Madinah.
Pemahaman Abu Zayd seperti ini dapat difahami dalam hubungannya dengan
hermeneutika F.D.E Scheleirmacher yakni ‘ bahasa’ (baca:Teks ) lahir tidak
lepas dari dua unsur waktu dan tempat .
Thesis Keempat ,
berkaitan dengan konsepAsbab An-Nuzul . tahap awal Abu Zayd
mengkritik ulama’-ulama’ salaf yang mengatakan bahwa sebab-sebab turunnya
wahyu didasarkan pada sanad dalam periwayatan hadist dari sahabat tentang
mengapa surat-surat al Qur’an turun. Apabila konsep ini diterapkan
maka mereka pada hakikatnya terjebak dalam faktor eksternal saja. Belum
lagi persoalan bahwa tidak memungkinkan setiap surat diketahui
secara keseluruhan sebab-sebab turunnya wahyu oleh para sahabat,
sebagai mana prasyarat yang mereka buat bahwa Hadist menerangkan itu
haruslan mutawatir. Faktor tempat, kelupaan pada diri
sahabat-sahabat dan juga faktor ‘idelogi’ juga sangat berperan dalam
membentuk keterangan yang sangat mungkin menyimpang dan tidak sesuai sama
sekali dengan faktor hakiki turunnya sebuah surat. Menurut Abu Zayd
dalam hal ini ulama konteporer justru punya kesempatan untuk menikmati
hak berjihad dan mentarjih riwayat-riwayat yang berbeda dengan cara yang
lebih signifikan. Asbab tidak mesti didasarkan pada faktor
eksternal saja tetapi juga harus diungkap maksud dari dalam teks surat
itu sendiri, yakni dari dalam. Pengungkapan tidak mesti berjalan
dalam satu arah tetapi dari luar kedalam, atau dari dalam keluar , tetapi harus
berjalan dalam gerak ulang-alik secara cepat antara dalam dan luar. Dalam
konteks ini Abu Zayd lebih mengacu pada hubungan ‘batin bahasa’ dengan
realitas eksternal. Merupakan gabungan dari hermeneutika dilthey-gadamer dengan
Scheirmacher.
Adapun konsep Naskh dan Mansukh merupakan
perkara yang tidak dapat dipisahkan dari konsepAsbab An Nuzul.
Sebab suatu naskh terjadi juga berkaitan dengan sebab turunnya ayat
tertentu. Pembatalan sebuah hukum syara’ ataupun penangguhannya
berkaiatan dengan sebab sebabnya.
Menurut Abu Zayd, Al Qur’an sebagai teks memiliki mekanisme
sendiri. Sebagai wujud teks dalam masa Al Qur’an turun, keberadaan teks
mendominasi eksistensi budaya. Dalam situasi semacam ini, tentu saja untuk
mewujudkan sebuah ‘ daya perubah yang melemahkan’ tidak dapat
diwujudkan jika daya itu dapat difahami oleh nalar masyarakat. Merubah
sebuah realita sosial yang rusak, mengharuskan al Qur’an ‘menghancurkan’dominasi
budaya Arab, yakni budaya teks, kelebihan al Qur’an inilah yang menempatkannya
, dari posisi pendatang baru, selanjutnya menjadi ‘imam’ dari
teks -teks (syair puisi saj’). Teks-teks yang lain bukan terhancurkan
musnah-menghilang namun beruba menjadi ‘peng-amien’ apa yang
dikatakan al Qur’an. Dalam bentuknya sebagai teks, al Qur’an bukan puisi, syair
maupun saj’. Al qur’an adalah al Qur’an sebagai wahyu. Inilah konsep I’jaz al
Qur’an. I’jaz al Qur’an memiliki kekhasan sendiri berbeda dengan kemu’jizatan
yang dibawah oleh nabi-nabi selain Muhammad SAW. Karena yang harus
dikalahkan oleh al Qur’an adalah apa yang diunggulkan masyarakat ‘Arab.
Yakni budaya teks dan bukannya keajaiban sebuah tongkat milik nabi Musa As.
Kepandaian mengobati orang sakit seperti nabi Isa As. atau tidak terbakar
sebagaimana Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrud. Walaupun harus diakui juga
dalam mengalahkan orang-orang Mekkah Mu’jizat yang sifatnya aksidental
juga diberikan pada Nabi Muhammad.
Dari hasil pemikiran Abu Zayd , secara metodologi dapat
diringkas bahwa hakikat hermeneutika ketika diterapkan untuk mengkaji al Qur’an
sebagai sebuah teks memiliki dasar budaya yang kuat pada masyarakat
Mekkah sebagai penerima wahyu pertama. Indikatornya adalah :
- Al
Qur’an sebagai wahyu dapat diterima oleh orang ‘Arab karena mereka
sebelumnya telah memiliki konsep ‘wahyu’ dan kepercayaan
bahwa seseorang mampu berdialog dengan ‘makhluk ghoib’.
- Nabi
Muhammad sebagai penerima wahyu, pada dasarnya mengakar pada pergaulan
ditengah masyarakatnya bukan orang yang memisahkan diri yang lainnya.
Namun, demikian beliau terjaga dari perilaku masyarakat Makkah yang
rusak. Dalam melihat realitas semacam itulah Nabi sebagai bagian
masyarakat melihat sisi yang ‘harus’ dirubah.
- Proses
pewahyuan kepada Nabi Nuhammad haruslah difahami sebagai interaksi ‘Teks’
dengan realitas masyarakat. Konsep Makky dan Madanitidak
cukup dikatagorikan berdasarkan masa sebelum dan sesudah hijrah.
- Sebab
sebab turunnya Al Qur’an tidak cukup hanya berdasarkan kronologis
periwayatan berdasarkan faktor eksternal saja namun harus ada keterkaitan
antara ‘dalam’ dan ‘luar’ teks secara ulang-alik.
- Keberadaan
al Qur’an sebagai teks dalam budaya yang terdominasi tradisi teks juga harus
difahami sebagai teks yang sekaligus berbeda dengan teks-teks yang
lain. Al Qur’an adalah dirinya sendiri, meskipun ia juga teks. Sedangkan
tek-teks yang lain telah terkalahkan, namun bukan termusnahkan telah
menjadi semacam pendukung, penguat keberadaan teks al Qur’an.
Teks-teks dalam bentuk syair, puisi, saj’ telah merobah diri dihadapan al
Qur’an. Ketika teks teks itu hendak menetapkan diri sebagai bagian dari
tradisi lama sebelum lama sebelum al Qur’an turun maka teks-teks itu
mengalami kehancuran.
0 Komentar "HERMENEUTIKA DAN KAJIAN AL-QUR’AN ( TELAAH KRITIS KARYA NASR HAMID ABU ZAYD)"