Attaqorruba dan jenjang kemulian rohani


ATTAQORRUB DAN JENJANG KEMULIAAN ROHANI
(Tugas Mata Kuliah Ilmu Thasawuf)
Dosen Pembimbing
Nur Hasan, Mpd, ph.D


http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/5/50/Logo_Unisma.jpg

Oleh

Kholilurrohim


Program Pasca Sarjana Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Malang
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Tidak sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilâ Allâh (mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilâ Allâh hanya dianggap sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, zikir dan sebagainya. Sebaliknya, pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi antarmanusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda pemerintahan Islam dianggap bukan bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Reduksi pengertian taqarrub ilâ Allâh ini dapat terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama: dominasi paham sekularisme yang membatasi otoritas agama hanya pada hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Kedua: adanya kesalahpahaman mengenai konsep taqarrub ilâ Allâh itu sendir
Untuk mencapai pada jenjang kerohanian manusia harus mengerjakan atau menjalankan tahap-tahap yang sudah ditentukan yang nantinya akan membawa keberkahan yang di karuniai oleh allah SAW.
  1. Rumusana Masalah
  1. Apa saja yang di jelaskan dalam pengertian dan ruanglingkup taqarruf?
  2. Apa saja tahap-tahan untk menegetahui jenjang rohaniah?
  1. Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui Apa saja yang di jelaskan dalam pengertian dan ruanglingkup taqarruf.
  2. Untuk mengetahui Apa saja yang di jelaskan dalam pengertian dan ruanglingkup taqarruf.
.






BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian dan Ruang Lingkup Taqarrub
Istilah taqarrub ilâ Allâh berasal dari nash-nash syariah yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT, antara lain hadis qudsi dari Nabi saw. bahwa Allah SWT berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ …
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya; tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya.”[1].
Dari frasa “mendekatkan diri kepada-Ku” (yataqarrabu ilaiyya) inilah kemudian lahir istilahtaqarrub ilâ Allâh. Kata taqarrub secara bahasa artinya adalah mencari kedekatan (thalab al-qurbi). Jadi, taqarrub ilâ Allâh secara bahasa adalah mencari kedekatan dengan Allah[2].
Dari pengertian bahasa inilah para ulama berusaha merumuskan pengertian taqarrub ilâ Allâhsecara syar’i. Para ulama seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, arti kedekatan secara fisik antara manusia dan Allah dalam arti jarak (masafah) jelas adalah mustahil. Jadi, hadis Nabi saw. di atas tidak dapat diartikan menurut arti hakikinya, melainkan harus dipahami dalam arti majazi (arti kiasan)-nya yang telah masyhur dalam gaya bahasa orang Arab. Maka dari itu, makna syar’i dari taqarrub ilâ Allâh adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT[3].
Secara lebih rinci, Ibnu Rajab al-Hanbali[4]. menerangkan ruang lingkup taqarrub ilâ Allâh. Menurut beliau, orang yang melakukantaqarrub ilâ Allâh ada dua golongan/derajat. Pertama: orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (adâ‘ al-farâ’idh), yang meliputi perbuatan melakukan kewajiban (fi’l al-wâjibât) dan meninggalkan yang haram-haram (tark al-muharramât), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya. Contohnya, mengerjakan shalat lima waktu. Kedua: orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawâfil), misalnya shalat tahajud dan tarawih.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa taqarrub ilâ Allâh bukan hanya berupa ibadahmahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan semua kewajiban dan perkara-perkara sunnah; baik itu berupa ibadah mahdhah maupun berupa aktivitas interaksi antarmanusia. Yang juga termasuk taqarrub ilâ Allâh adalah aktivitas meninggalkan segala macam keharaman dan perkara-perkara makruh[5].
Maka dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah adalah taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana shalat dan puasa. Sebab, berdakwah adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti kepada orangtua, membayar utang, bekerja mencari nafkah; semuanya merupakan taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab, semuanya adalah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum kepada sesama Muslim; sebagaimana menyembelih kurban dan puasa Senin-Kamis. Sebab, semua itu adalah kesunnahan yang disukai dalam Islam. Meninggalkan segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga merupakan taqarrub ilâ Allâh, karena meninggalkan yang haram-haram juga merupakan taqarrub ilâ Allâh. Tidak makan makanan yang berbau ‘tajam’ sebelum pergi ke masjid juga taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana tidak berbicara dalam kamar mandi. Sebab, keduanya adalah perbuatan yang makruh hukumnya.
  1. Menerapkan Syariah Islam
Para ulama menegaskan bahwa taqarrub ilâ Allâh juga mencakup aktivitas politik, yaitu menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dengan melaksanakan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan.
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib menjadikan kepemimpinan (imârah) sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan jalan menaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama (min afdhal al-qurubât). Yang merusak kepemimpinan tiada lain karena kebanyakan manusia hanya mencari jabatan dan harta benda dengan kepemimpinan itu[6].”
Dalam kitabnya yang lain[7], Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharf as-sulthân] dan harta benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda dimaksudkan untuk taqarrub ilâ Allâh dan infak fi sabilillah, maka itu akan menimbulkan kebaikan agama dan dunia. Namun, jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak.”
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, “Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilâ Allâh adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada istri dan anaknya.”[8]
Kemudian Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan beberapa hadis yang mendasari pernyataannya itu. Kewajiban menegakkan keadilan secara khusus, dalilnya adalah sabda Nabi saw.:
كُلُّكم راعٍ وكُلُكم مسؤولٌ عن رعيَّته
Setiap diri kalian adalah bagaikan penggembala dan setiap penggembala akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Adapun kewajiban menegakkan keadilan secara umum, yang menjadi kewajiban Imam (Khalifah), dalilnya antara lain sabda Nabi saw.:
إنَّ المُقسطين عند الله على منابِرَ من نُورٍ على يمين الرحمان-وكلتا يديه يمين-الذين يَعدِلُون في حكمهم وأهليهم وما ولُوا
Sesunguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dan di atas tangan Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang), dan kedua tangan-Nya adalah kanan semua. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam pemerintahan mereka dan di tengah keluarga mereka, dan mereka tidak berpaling.” (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
إنَّ أحبَّ العبادِ إلى الله يَومَ القيامةِ وأدناهم إليه مجلساً إمامٌ عادلٌ
Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan yang paling dekat majelisnya dengan-Nya adalah Imam (Khalifah) yang adil (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, aktivitas menerapkan syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Bahkan seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilâ Allâh yang paling utama.
Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum syariah Islam secara kâffah(menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam dan sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilâ Allâh akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilâ Allâh secara kâffah.
Dengan kata lain, di tengah cengkeraman sekularisme dan tanpa adanya Khilafah seperti kondisi saat ini, akan banyak hukum-hukum Islam yang terbengkalai dan tidak bisa dijalankan. Padahal menerapkan semua hukum syariah Islam adalah suatu kewajiban (QS 2: 108). Kondisi ini sudah pasti tak akan mampu mewujudkan taqarrub ilâ Allâh yang kâffah. Selanjutnya yang terjadi hanyalah kerusakan demi kerusakan belaka, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Taimiyah.[9]
  1. Urgensi Taqarrub ilâ Allâh
Urgensi taqarrub ilâ Allâh adalah demi meraih kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Sabda Nabi saw.:
ولا يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنوافِلِ حتّى أُحبَّه
Tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang mendekatkan diri kepada Allah maka dia akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya[10]. 
Sebaliknya orang yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah maka dia tidak akan dicintai Allah, tak akan mendapat berbagai balasan yang baik dari Allah, dan akan diganti Allah dengan orang lain yang mencintai-Nya. Allah SWT berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan mereka pun mencintai-Nya; yang bersikap lembut terhadap orang yang Mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan para pencela. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahatahu(QS al-Maidah [5]: 54).
Ibnu Rajab Al-Hanbali menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Dalam ayat ini terdapat isyarat seakan Allah berkata, ‘Orang yang berpaling dari mencintai Kami, yang tidak mau mendekatkan diri kepada Kami, maka Kami tak akan pedulikan dia, dan akan Kami ganti dia dengan orang yang lebih layak mendapat karunia ini.” (Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/12).
D.    Jenjang Kemuliaan Rohan Atau Ma’rifatullah” (Awal mula seseorang itu beragama, ialah mengenal akan Allah)”.
Dimana seseorang itu wajib hukumnya untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal menuju kesempurnaan beragama. Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang dilakukan bagaimana mungkin bisa dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja tidak diketahui. Karena itu sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu di dalam kehidupan ini. Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya Manis Lezatnya ke imanan, dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan Jiwa akan mengalir di dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar, tawakkal serta Ridho dalam menjalani Hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang melebihi daripada kebahagiaan para Arif billah/orang yang mengenal akan Allah
Seandainya Allah Swt membukakan akan rahasia keagungan para Arif billah, maka niscaya orang-orang akan tercengang dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena Nur yang meliputi diri para Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke langit ketujuh. Karena itu lah Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya itu, sehingga tidak ada yang mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah dan mereka-mereka yang sama-sama telah sampai pada maqom Ma’rifatullah tsb.
Adapun Manusia-manusia itu untuk sampai kepada pengenalan akan Allah (Ma’rifatullah) maka terlebih dahulu ia haruslah mengenal dirinya yang sebenar-benarnya.
  1. Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Robbahu” (Barang siapa yang mengenal akan dirinya yang sebenarnya niscaya kenal lah ia akan Allah)
Dan tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah :
  1. Menundukkan Hawa Nafsu dengan memerangi kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemurtadan yang ada di dalam diri dengan menjauhi kesombongan, keingkaran terhadap kebenaran, kebodohan dan ketidak pedulian tentang kebenaran.
  2. Apabila ia telah berhasil di dalam memerangi Hawa Nafsunya tadi maka ia akan di anugrahi Hidayah/petunjuk kepada jalan yang di Ridhoi Allah Swt yaitu jalan menuju kepada Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw, serta dilengkapi ia dengan sifat-sifat Muhammad Rosulullah Saw yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah serta menjadikan ia Sami’na wa atho’na.
  3. Apabila ia tetap Istiqomah pada tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka ia akan disesuaikan oleh Allah Swt dengan Hukum Sunatullah yang berlaku di dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah kesabaranmu di dalam Hukum Allah Swt itu. (Tawakkal/berserah diri kepada Allah dengan meyakini bahwa apa yang terjadi atas dirinya, itu semua Qudrat Iradat Allah Swt semata). Bersabarlah! Dan pasrahkanlah dengan sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama Saudara Mu’min serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain. Tetapi ingatlah!!!, sesungguhnya banyak di antara orang Mu’min Hamba-hamba Allah itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka yang takjub dan hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt yang dinyatakan/ditampakkan oleh Allah berupa karomah-karomah membuat ia lupa akan Allah Swt yang menganugrahkan kelebihan-kelebihan itu sehinggan Karomah itulah yang menjadi maksud dan tujuannya. Lalu lupa ia kepada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah Swt yang menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada jurang kefasikan, kembali dikuasai oleh Hawa Nafsunya. “Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah………….”. Berhati-hatilah di dalam tahapan ini!!!!, tidak ada seorangpun yang selamat dalam tahapan ini melainkan mereka yang benar di dalam memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt, sehingga jadilah Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah lah sebaik-baik penolong bagi orang-orang Mu’min.
  4. Kemudian apabila ia telah sampai kepada tahapan itu dengan selamat dan ia senantiasa di dalam kesabaran serta selalu berhati-hati di dalam Musyahadahnya (Penyaksiannya), maka akan tersingkaplah segala Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw dengan sendirinya tanpa ia memaksakan kehendaknya untuk menyingkap tirai itu. Artinya ; Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw itu sendiri yang akan datang menjemputnya untuk di bawa naik (Mi’raj) menuju Alam yang tiada Batas dan dihampirkannnya kepada Kebenaran yang membawa Rahmat yaitu Nurun Ala Nurinsumber segala hakikat-hakikat yang ada termasuk Hakikat Diri atau Hakikat Muhammad. Lalu timbul lah kecintaan yang amat sangat dalam kepada Muhammad Rosulullah Saw, rindu yang tiada habis-habisnya dan diwujudkannya di dalam gerak dan diamnya dengan Sholawat dan puji-pujian kepada Rosulullah Saw. Kecintaannya yang sangat dalam kepada Rosulullah Saw terasa nikmat sekali dirasakannya, sehingga tiada nikmat apapun yang dapat menyamai kenikmatan cinta Rosulullah Saw. Racun kerinduan rela dan ikhlas diminumnya karena kemabukkannya tiada bandingannya. Kemabukkan cinta itulah yang mengahantarkan dirinya kepada Robbul Izzati untuk berkasih-kasihan memadu cinta yang telah lama terpendam.
Dengan tahapan-tahapan itu akan sampai lah ia kepada Memandang Zat Maha Mutlak yang tiada tara keagungan dan kebesaran-Nya, yang Esa dalam ke Esa annya, dimana segala sesuatu bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tiada satupun yang menyamai-Nya.
Ketika para Pecinta Allah sudah asyik di dalam pandang memandang, maka Allah akan mendudukan ia pada “Maqom Muroqobah” sebagai jalan terbukanya Tirai “Kebenaran Hakiki/Mukassyafaturrobbani”. Itulah Akhir dari pada pengembaraan dan perjalanan dan Itulah Puncak segala Puncak kenikmatan dan kebahagiaan.
Maka sampailah ia kepada Hakikat di atas Hakikat yaitu Zat Maha Mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat dari segala apa pun tentang diri-Nya.



BABIII
PENUTUP

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa atas segala bimbingan dan rahmatya selama penulis menulis  karya tulis ini. Dengan tersusunnya karya tulis ini berarti telah terpenuhi sebagai tugas kami dalam rangka menambah nilai tugas.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangan, namun berkat bimbingan dan pengarahan bapak/ ibu dosen serta beberapa pihak maka penyusun dapat menuyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian taqarrub ilallah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunnah (nafilah), dan dengan meninggalkan larangan-larangan Allah baik yang haram maupun yang makruh.
Taqarrub ilallah tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan meliputi pula segala ketaatan dalam interaksi antara manusia, termasuk penerapan Syariah Islam secara menyeluruh oleh seorang Khalifah dalam bingkai negara Khilafah.
Keberadaan Khilafah merupakan kunci taqarrub ilallah, karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat melaksanakan berbagai kewajiban lainnya, yaitu menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Sebaliknya, sistem Sekularisme sekarang telah mereduksi taqarrub ilallah secara paksa, dan hanya menimbulkan kerusakan di muka bumi karena telah memisahkan kekuasaan dari bimbingan agama. Wallahu a’lam.
Untuk mencapai pada jenjang kerohania kita harus mendekatkan diri kita kepada sang pencipta ya itu allah SWT dan dari situlah nanti kita tau jati diri kita sampai di mana tinggakatannya sesuai yang di jelaskan di atas.


D A F T A R    P U S T A K A
Pengembarajiwa jalan-menuju-marifatullah    September  26, 2008
KH. M. Shiddiq Al-Jawi hakikat-taqarrub-illallah  5 april 2015
KH. M. Shiddiq Al-Jawi hakikat-taqarrub-illallah  09 september  2009
HR al-Bukhari & Muslim, Fath al-Bari, XVIII/342; Syarh Muslim, IX/35
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bâri, XVIII/342
Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa‘, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72
Ibnu Rajab al-Hanbali Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/9-12)
Imam Ibnu Taimiyah. dalam Majm’ ûl-Fatawa (VI/410)
Imam Ibnu Taimiyah. Dalam kitab. As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah (1/174),
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/11)
Ibnu Rajab Al-Hanbali. Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35.







[1] HR al-Bukhari & Muslim, Fath al-Bari, XVIII/342; Syarh Muslim, IX/35
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bâri, XVIII/342
[3] Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa‘, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72
[4] Ibnu Rajab al-Hanbali Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/9-12)
[5] Ibid. Halaman 38-12
[6] Imam Ibnu Taimiyah. dalam Majm’ ûl-Fatawa (VI/410)
[7] Imam Ibnu Taimiyah. Dalam kitab. As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah (1/174),
[8] Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/11)
[9] Ibid
[10] Ibnu Rajab Al-Hanbali. Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35.
0 Komentar "Attaqorruba dan jenjang kemulian rohani"

Back To Top