ATTAQORRUB DAN JENJANG KEMULIAAN ROHANI
(Tugas Mata Kuliah Ilmu Thasawuf)
Dosen Pembimbing
Nur Hasan, Mpd,
ph.D

Oleh
Kholilurrohim
Program Pasca Sarjana Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Malang
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Tidak
sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilâ
Allâh (mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilâ
Allâh hanya dianggap sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji,
zikir dan sebagainya. Sebaliknya, pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi
antarmanusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda
pemerintahan Islam dianggap bukan bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Reduksi
pengertian taqarrub ilâ Allâh ini dapat terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama: dominasi paham sekularisme yang membatasi otoritas agama hanya
pada hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Kedua: adanya kesalahpahaman mengenai konsep taqarrub
ilâ Allâh itu sendir
Untuk
mencapai pada jenjang kerohanian manusia harus mengerjakan atau menjalankan
tahap-tahap yang sudah ditentukan yang nantinya akan membawa keberkahan yang di
karuniai oleh allah SAW.
- Rumusana Masalah
- Apa saja yang di jelaskan dalam pengertian dan
ruanglingkup taqarruf?
- Apa saja tahap-tahan untk menegetahui jenjang
rohaniah?
- Tujuan Masalah
- Untuk mengetahui Apa
saja yang di jelaskan dalam pengertian dan ruanglingkup taqarruf.
- Untuk mengetahui Apa saja yang di jelaskan dalam
pengertian dan ruanglingkup taqarruf.
.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
dan Ruang Lingkup Taqarrub
Istilah taqarrub ilâ Allâh berasal dari nash-nash syariah
yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT, antara lain hadis qudsi dari Nabi saw. bahwa Allah SWT berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ
إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا
يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ …
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku
cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya; tidaklah hamba-Ku
terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya.”[1].
Dari
frasa “mendekatkan diri kepada-Ku” (yataqarrabu ilaiyya)
inilah kemudian lahir istilahtaqarrub ilâ Allâh. Kata taqarrub secara bahasa artinya adalah mencari
kedekatan (thalab al-qurbi). Jadi, taqarrub ilâ Allâh secara bahasa adalah mencari kedekatan dengan Allah[2].
Dari
pengertian bahasa inilah para ulama berusaha merumuskan pengertian taqarrub ilâ Allâhsecara syar’i. Para ulama seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
menyatakan, arti kedekatan secara fisik antara manusia dan Allah dalam arti
jarak (masafah) jelas adalah mustahil. Jadi,
hadis Nabi saw. di atas tidak dapat diartikan menurut arti hakikinya, melainkan
harus dipahami dalam arti majazi (arti kiasan)-nya yang telah masyhur dalam
gaya bahasa orang Arab. Maka dari itu, makna syar’i dari taqarrub ilâ Allâh adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT[3].
Secara
lebih rinci, Ibnu Rajab al-Hanbali[4]. menerangkan ruang lingkup taqarrub ilâ Allâh. Menurut beliau, orang yang
melakukantaqarrub ilâ Allâh ada dua golongan/derajat. Pertama: orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (adâ‘
al-farâ’idh), yang meliputi perbuatan melakukan kewajiban (fi’l
al-wâjibât) dan meninggalkan yang haram-haram (tark al-muharramât), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya.
Contohnya, mengerjakan shalat lima waktu. Kedua: orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawâfil), misalnya shalat tahajud dan tarawih.
Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwa taqarrub ilâ
Allâh bukan hanya berupa ibadahmahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan semua
kewajiban dan perkara-perkara sunnah; baik itu berupa ibadah mahdhah maupun berupa aktivitas interaksi antarmanusia. Yang juga termasuk taqarrub
ilâ Allâh adalah aktivitas meninggalkan segala macam
keharaman dan perkara-perkara makruh[5].
Maka
dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah adalah taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana shalat dan puasa.
Sebab, berdakwah adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti
kepada orangtua, membayar utang, bekerja mencari nafkah; semuanya merupakan taqarrub
ilâ Allâh, sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab, semuanya adalah
kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum
kepada sesama Muslim; sebagaimana menyembelih kurban dan puasa Senin-Kamis.
Sebab, semua itu adalah kesunnahan yang disukai dalam Islam. Meninggalkan
segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga merupakan taqarrub
ilâ Allâh, karena meninggalkan yang haram-haram juga merupakan taqarrub
ilâ Allâh. Tidak makan makanan yang berbau ‘tajam’ sebelum pergi ke masjid
juga taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana tidak berbicara
dalam kamar mandi. Sebab, keduanya adalah perbuatan yang makruh hukumnya.
- Menerapkan Syariah Islam
Para ulama menegaskan bahwa taqarrub ilâ Allâh juga mencakup aktivitas politik, yaitu menerapkan sistem pemerintahan
Islam (Khilafah) dengan melaksanakan syariah Islam dalam segala aspek
kehidupan.
Imam
Ibnu Taimiyah berkata, “Wajib menjadikan kepemimpinan (imârah) sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri
kepada Allah. Sebab, mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan
dengan jalan menaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama (min afdhal al-qurubât). Yang merusak kepemimpinan tiada lain karena kebanyakan manusia
hanya mencari jabatan dan harta benda dengan kepemimpinan itu[6].”
Dalam
kitabnya yang lain[7], Imam
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan
[sharf as-sulthân] dan harta benda di jalan Allah. Apabila
kekuasaan dan harta benda dimaksudkan untuk taqarrub ilâ
Allâh dan infak fi sabilillah, maka itu akan menimbulkan kebaikan agama
dan dunia. Namun, jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari
kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak.”
Imam
Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, “Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilâ Allâh adalah mewujudkan keadilan,
baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas
rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala
keluarga kepada istri dan anaknya.”[8]
Kemudian
Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan beberapa hadis yang mendasari pernyataannya
itu. Kewajiban menegakkan keadilan secara khusus, dalilnya adalah sabda Nabi
saw.:
كُلُّكم راعٍ وكُلُكم
مسؤولٌ عن رعيَّته
Setiap diri kalian adalah bagaikan penggembala dan setiap penggembala akan
dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Adapun
kewajiban menegakkan keadilan secara umum, yang menjadi kewajiban Imam
(Khalifah), dalilnya antara lain sabda Nabi saw.:
إنَّ المُقسطين عند
الله على منابِرَ من نُورٍ على يمين الرحمان-وكلتا يديه يمين-الذين يَعدِلُون في
حكمهم وأهليهم وما ولُوا
Sesunguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar
dari cahaya dan di atas tangan Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang), dan kedua
tangan-Nya adalah kanan semua. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil
dalam pemerintahan mereka dan di tengah keluarga mereka, dan mereka tidak
berpaling.” (HR Muslim).
Rasulullah
saw. juga bersabda:
إنَّ أحبَّ العبادِ إلى
الله يَومَ القيامةِ وأدناهم إليه مجلساً إمامٌ عادلٌ
Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan yang
paling dekat majelisnya dengan-Nya adalah Imam (Khalifah) yang adil (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan
hadis-hadis di atas, aktivitas menerapkan syariah secara adil yang dilakukan
oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilâ
Allâh. Bahkan seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan
pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilâ Allâh yang paling utama.
Pernyataan
Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam
sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum syariah Islam secara kâffah(menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem
pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam dan sistem-sistem Islam yang lain tidak
mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil,
eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub
ilâ Allâh akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah
kunci taqarrub ilâ Allâh secara kâffah.
Dengan
kata lain, di tengah cengkeraman sekularisme dan tanpa adanya Khilafah seperti
kondisi saat ini, akan banyak hukum-hukum Islam yang terbengkalai dan tidak
bisa dijalankan. Padahal menerapkan semua hukum syariah Islam adalah suatu
kewajiban (QS 2: 108). Kondisi ini sudah pasti tak akan mampu mewujudkan taqarrub ilâ Allâh yang kâffah. Selanjutnya yang terjadi hanyalah kerusakan demi kerusakan
belaka, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Taimiyah.[9]
- Urgensi Taqarrub ilâ
Allâh
Urgensi taqarrub ilâ Allâh adalah demi meraih kecintaan
Allah kepada hamba-Nya. Sabda Nabi saw.:
ولا يزالُ عبدي
يتقرَّبُ إليَّ بالنوافِلِ حتّى أُحبَّه
Tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah
(nawâfil) hingga aku mencintainya (HR al-Bukhari dan
Muslim).
Ibnu
Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang mendekatkan diri kepada Allah maka dia
akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai
balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan
rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya[10].
Sebaliknya
orang yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah maka dia tidak akan dicintai
Allah, tak akan mendapat berbagai balasan yang baik dari Allah, dan akan
diganti Allah dengan orang lain yang mencintai-Nya. Allah SWT berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى
الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan
mereka pun mencintai-Nya; yang bersikap lembut terhadap orang yang Mukmin dan
keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut
kepada celaan para pencela. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa
yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahatahu(QS
al-Maidah [5]: 54).
Ibnu
Rajab Al-Hanbali menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Dalam ayat ini
terdapat isyarat seakan Allah berkata, ‘Orang yang berpaling dari mencintai
Kami, yang tidak mau mendekatkan diri kepada Kami, maka Kami tak akan pedulikan
dia, dan akan Kami ganti dia dengan orang yang lebih layak mendapat karunia
ini.” (Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm,
XXXVIII/12).
D. Jenjang
Kemuliaan Rohan Atau Ma’rifatullah”
(Awal mula seseorang itu beragama, ialah mengenal akan Allah)”.
Dimana
seseorang itu wajib hukumnya untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal
menuju kesempurnaan beragama. Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang
dilakukan bagaimana mungkin bisa dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja
tidak diketahui. Karena itu sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu
di dalam kehidupan ini. Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya Manis
Lezatnya ke imanan, dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan
Jiwa akan mengalir di dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar,
tawakkal serta Ridho dalam menjalani Hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang
melebihi daripada kebahagiaan para Arif billah/orang yang mengenal akan Allah
Seandainya
Allah Swt membukakan akan rahasia keagungan para Arif billah, maka niscaya
orang-orang akan tercengang dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena
Nur yang meliputi diri para Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke
langit ketujuh. Karena itu lah Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya
itu, sehingga tidak ada yang mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah
dan mereka-mereka yang sama-sama telah sampai pada maqom Ma’rifatullah tsb.
Adapun
Manusia-manusia itu untuk sampai kepada pengenalan akan Allah
(Ma’rifatullah) maka terlebih dahulu ia haruslah mengenal dirinya yang
sebenar-benarnya.
- “Man
‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Robbahu” (Barang siapa yang mengenal akan
dirinya yang sebenarnya niscaya kenal lah ia akan Allah)
Dan
tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah :
- Menundukkan Hawa Nafsu dengan
memerangi kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemurtadan
yang ada di dalam diri dengan menjauhi kesombongan, keingkaran terhadap
kebenaran, kebodohan dan ketidak pedulian tentang kebenaran.
- Apabila ia telah berhasil di dalam
memerangi Hawa Nafsunya tadi maka ia akan di anugrahi Hidayah/petunjuk
kepada jalan yang di Ridhoi Allah Swt yaitu jalan menuju kepada Kebenaran
Hakikat Muhammad Rosulullah Saw, serta dilengkapi ia dengan sifat-sifat
Muhammad Rosulullah Saw yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah serta
menjadikan ia Sami’na wa atho’na.
- Apabila ia tetap Istiqomah pada
tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka ia akan disesuaikan oleh Allah Swt dengan
Hukum Sunatullah yang berlaku di dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah
kesabaranmu di dalam Hukum Allah Swt itu. (Tawakkal/berserah diri kepada
Allah dengan meyakini bahwa apa yang terjadi atas dirinya, itu semua
Qudrat Iradat Allah Swt semata). Bersabarlah! Dan pasrahkanlah dengan
sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama Saudara Mu’min
serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain. Tetapi
ingatlah!!!, sesungguhnya banyak di antara orang Mu’min Hamba-hamba Allah
itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka yang takjub dan
hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan
dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt yang dinyatakan/ditampakkan oleh Allah
berupa karomah-karomah membuat ia lupa akan Allah Swt yang menganugrahkan
kelebihan-kelebihan itu sehinggan Karomah itulah yang menjadi maksud dan
tujuannya. Lalu lupa ia kepada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah Swt yang
menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada jurang kefasikan, kembali
dikuasai oleh Hawa Nafsunya. “Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa
Billah………….”. Berhati-hatilah di dalam tahapan ini!!!!, tidak ada
seorangpun yang selamat dalam tahapan ini melainkan mereka yang benar di
dalam memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt, sehingga jadilah
Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah lah sebaik-baik penolong bagi
orang-orang Mu’min.
- Kemudian apabila ia telah sampai
kepada tahapan itu dengan selamat dan ia senantiasa di dalam kesabaran
serta selalu berhati-hati di dalam Musyahadahnya (Penyaksiannya), maka
akan tersingkaplah segala Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah
Saw dengan sendirinya tanpa ia memaksakan kehendaknya untuk
menyingkap tirai itu. Artinya ; Kebenaran Hakikat Muhammad
Rosulullah Saw itu sendiri yang akan datang menjemputnya untuk di
bawa naik (Mi’raj) menuju Alam yang tiada Batas dan dihampirkannnya
kepada Kebenaran yang membawa Rahmat yaitu Nurun
Ala Nurinsumber segala hakikat-hakikat yang ada termasuk Hakikat
Diri atau Hakikat Muhammad. Lalu timbul lah kecintaan yang amat sangat
dalam kepada Muhammad Rosulullah Saw, rindu yang tiada habis-habisnya dan
diwujudkannya di dalam gerak dan diamnya dengan Sholawat dan puji-pujian
kepada Rosulullah Saw. Kecintaannya yang sangat dalam kepada Rosulullah
Saw terasa nikmat sekali dirasakannya, sehingga tiada nikmat apapun yang
dapat menyamai kenikmatan cinta Rosulullah Saw. Racun kerinduan rela dan ikhlas
diminumnya karena kemabukkannya tiada bandingannya. Kemabukkan cinta
itulah yang mengahantarkan dirinya kepada Robbul Izzati untuk
berkasih-kasihan memadu cinta yang telah lama terpendam.
Dengan
tahapan-tahapan itu akan sampai lah ia kepada Memandang Zat Maha Mutlak yang
tiada tara keagungan dan kebesaran-Nya, yang Esa dalam ke Esa annya, dimana
segala sesuatu bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan
tiada satupun yang menyamai-Nya.
Ketika
para Pecinta Allah sudah asyik di dalam pandang memandang, maka Allah akan
mendudukan ia pada “Maqom Muroqobah” sebagai jalan terbukanya
Tirai “Kebenaran Hakiki/Mukassyafaturrobbani”. Itulah Akhir
dari pada pengembaraan dan perjalanan dan Itulah Puncak segala Puncak
kenikmatan dan kebahagiaan.
Maka
sampailah ia kepada Hakikat di atas Hakikat yaitu Zat Maha Mutlak yang
tidak bisa di ganggu gugat dari segala apa pun tentang diri-Nya.
BABIII
PENUTUP
Puji syukur kami panjatkan
kepada Tuhan Yang maha Esa atas segala bimbingan dan rahmatya selama penulis
menulis karya tulis ini. Dengan
tersusunnya karya tulis ini berarti telah terpenuhi sebagai tugas kami dalam
rangka menambah nilai tugas.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih belum sempurna dan
masih banyak kekurangan-kekurangan, namun berkat bimbingan dan pengarahan
bapak/ ibu dosen serta beberapa pihak maka penyusun dapat menuyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa pengertian taqarrub ilallah adalah mendekatkan
diri kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah baik yang
wajib maupun yang sunnah (nafilah), dan dengan
meninggalkan larangan-larangan Allah baik yang haram maupun yang makruh.
Taqarrub ilallah tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah
saja, seperti sholat dan puasa, melainkan meliputi pula segala ketaatan dalam
interaksi antara manusia, termasuk penerapan Syariah Islam secara menyeluruh
oleh seorang Khalifah dalam bingkai negara Khilafah.
Keberadaan Khilafah merupakan kunci taqarrub ilallah,
karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat melaksanakan berbagai kewajiban
lainnya, yaitu menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh).
Sebaliknya, sistem Sekularisme sekarang telah mereduksi taqarrub ilallah secara
paksa, dan hanya menimbulkan kerusakan di muka bumi karena telah memisahkan
kekuasaan dari bimbingan agama. Wallahu a’lam.
Untuk mencapai pada
jenjang kerohania kita harus mendekatkan diri kita kepada sang pencipta ya itu
allah SWT dan dari situlah nanti kita tau jati diri kita sampai di mana
tinggakatannya sesuai yang di jelaskan di atas.
D A F T A R P U S T A K A
Pengembarajiwa jalan-menuju-marifatullah September 26, 2008
HR al-Bukhari &
Muslim, Fath al-Bari, XVIII/342; Syarh
Muslim, IX/35
Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Fath al-Bâri, XVIII/342
Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa‘, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72
Ibnu Rajab al-Hanbali Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/9-12)
Imam Ibnu Taimiyah.
dalam Majm’ ûl-Fatawa (VI/410)
Imam Ibnu Taimiyah.
Dalam kitab. As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah (1/174),
Imam Ibnu Rajab
Al-Hanbali dalam Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/11)
Ibnu Rajab Al-Hanbali.
Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35.
0 Komentar "Attaqorruba dan jenjang kemulian rohani"